Info Sekolah
Kamis, 11 Sep 2025
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - MANDIRI - AKHLAKUL KARIMAH - NASIONALIS - TERAMPIL - ADAPTIF - PRESTASI
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - MANDIRI - AKHLAKUL KARIMAH - NASIONALIS - TERAMPIL - ADAPTIF - PRESTASI

Rara Lembayung. #6

Terbit : Selasa, 2 September 2025

Cerita Bersambung Oleh : Rita Indriana Rahmawati

-=-=-=-=-

Angin menghembuskan udara malam yang menusuk. Membawa serta daun mahoni dari pohonnya di batas depan pekarangan rumah. Terbang ke berbagai arah.

“Kau lihat, Nak! Daun-daun mahoni ini seolah jatuh begitu saja tanpa tujuan.” Ki Kertanadi memungut selembar daun yang paling dekat dengan jangkauan. Dia mainkan daun mahoni yang memerah itu di tangan kanannya.

“ Padahal sesungguhnya tidak ada selembar daun yang jatuhpun tanpa Gusti Allah menentukan hikmahnya,” Ki Kertanadi melanjutkan kalimat. Dialihkan pendangan dari daun di tangan ke wajah anak gadisnya. Yang ditatap masih asik memeluk tubuh dengan kedua tangannya sendiri.

Angin yang tadi berhembus ternyata menyisakan biji mahoni yang masih terbang berputar-putar, seperti kitiran[1]. Biji bersayap itu mendarat tepat di pangkuan Lembayung. Mau tak mau gadis itu mengambilnya. Dia meniup benda itu hingga terbang kembali dan mendarat tak jauh dari tiang emper rumah.

Ki Kertanadi dan Lembayung berbincang di beranda depan. Ayah anak itu lebih memilih tidak masuk agar bisa bicara empat mata.

“Rama tahu, dialah yang kau harap untuk menjadi suami,” Ki Kertanadi melanjutkan kalimatnya. Lembayung menatap Ki Kertanadi, lama. Apakah sekentara itu, mungkin itu yang berkecamuk di pikirannya. Kemarin Wanakusuma, sekarang rama.

“Rama sudah berbicara dengan Wira Saksana sebelum pergi ke Pajang, Nak!” Ki Kertanadi menjelaskan maksudnya.

“Rama…. Wira Saksana…?” Lembayung membelalakkan mata. Tak mampu melengkapi ataupun melanjutkan kalimatnya.

“Ya. Rama bahkan dengan tak tahu malu menawarkan untuk menikahkanmu dengannya sebagai hukuman.” Lembayung, demi mendengar perkataan ramanya, menganga. Tak mampu menjawab atau mengeluarkan kalimat apapun.

“Tapi sayangnya, hal ini tak semudah yang kau bayangkan, Nduk!” Ki Kertanadi mendesah.

“Seperti biji mahoni yang tadi jatuh di pangkuanmu. Menurutmu mungkin dia jatuh di tempat yang salah. Tapi Gusti sudah menggariskan hal itu, Lembayung. Biji ini harus jatuh dulu di pangkuanmu agar bisa kau tiup dan terbangkan ke tanah. Dan mungkin entah kapan takdir akan membuatnya tumbuh atau terinjak dan patah. Kita tidak pernah tahu.” Lembayung mendengarkan penjelasan ramanya dengan seksama. Ki Kertanadi bisa dengan mudah menanamkan pelajaran hidup dari apapun yang terjangkau mata.

“Jika nanti kau merasa berada di tempat yang salah, mungkin kau seperti biji mahoni tadi. Gusti Allah menginginkannya. Maka jalanilah dengan ikhlas!” Ki Kertanadi memandang putrinya dengan lembut.

“Kakang Wira Saksana menolaknya kan?” Lembayung tahu kemana arah pembicaraan ramanya. Mengingat bagaimana pemuda itu tersenyum, matanya tiba-tiba berkaca. Semuanya terasa salah. Kenapa Wira Saksana selalu menuruti permintaannya hingga membuat dia berharap banyak. Tidak ini bukan salah pemuda itu. Ini adalah salahnya. Kenapa juga dia berharap. Lembayung menangambil nafas dengan tersengal. Dia memandang bintang yang gemerlapan, mencegah air di pelupuk matanya tumpah ke pipi.

“Bagi Wira Saksana, ini tidak mudah Lembayung.” Ki Kertanadi memperhatikan tingkah anak gadisnya.

Angin lembut masuk dari atas tabung kaca penutup senthir. Api di dalamnya meliuk menjilati kaca penutup itu. Meninggalkan jelaga hitam tipis yang bayangannya meliuk-liuk samar di badan Lembayung saat api kembali ke posisi normal. Membuat gadis itu tampak dramatis di mata ramanya.

“Mungkin besok, rama akan menemui  kepala desa. Rama akan mencoba berbincang dengan ayah Wira Saksana itu,” Ki Kertanadi kembali menjeda kalimatnya.

“Tapi, Nak. Mengusahkanmu untuk diperistri orang lain, hanya agar kau bisa menolak lamaran yang sudah masuk, rama merasa ini salah. Kau yakin untuk mempertaruhkan kehormatanmu? Kau yakin rama harus menemui kepala desa? ” Ki Kertanadi minta pertimbangan Lembayung atas apa yang harus dilakukannya.

Lembayung menghapus air yang tak bisa dicegahnya lagi tumpah dari pelupuk mata.Tak ada isak. Lembayung menangis tanpa suara. Sungguh menyakitkan bagi siapapun yang melihat.

“Tidak perlu, Rama. Lembayung akan memikirkan keputusan. Ya. Rama benar. Ibarat barang dagangan, tidak elok menawarkan kepada orang lain saat ada pembeli yang sedang  menawarnya. Seharusnya kita menolak dulu baru memikirkan yang lain kemudian.” Akhirnya setelah terdiam agak lama Lembayung bersuara.

Ki Kertanadi tersenyum. Bangga kepada putrinya. Dia tahu Lembayung mampu melewati krisis ini dengan baik.

***

Lembayung menyalurkan gundah hati. Dia membelah udara kosong dengan pedang kayu. Melakukan gerakan-gerakan yang diajarkan Wira Saksana selama ini. Bedanya kini, dia sendirian. Seruan yang lebih mirip luapan kekecewaan, kalau tak boleh disebut kemarahan, meluncur dari mulutnya. Dipuncak teriakannya, gadis itu menebaskan pedang kayunya sekuat tenaga dengan mata terpejam. Kemudian menghentikannya di udara dengan tangan yang gemetaran.

Saat kelopak yang menutup mata bening terbuka, yang pertama terlihat dari sudut pandang gadis itu adalah ujung pedang kayunya tepat mengarah ke dada seseorang, tepat di jantung. Raut muka gadis itu berubah begitu tahu siapa yang berdiri beberapa meter di depannya. Pemuda yang dalam beberapa minggu menyita pikirannya.

Lembayung bergegas bergerak, mengabaikan Wira Saksana yang menuju ke arahnya. Gadis itu justru bersiap untuk turun dari bukit dimana mereka biasa berlatih tanpa bicara sedikitpun.

“Kenapa kau menghindar?” Pertanyaan Wira Saksana menghentikan langkahnya. Dahinya mengeryit seakan tak mengerti. Menghindar? Aku? Bukankah kau yang menghindariku? Mungkin itu yang berkecamuk di dalam hatinya. Nyatanya gadis itu melanjutkan diam.

“Aku akan pergi ke Pajang .” Kalimat Wira Saksana mampu membuatnya membalikkan badan. Pergi ke Pajang? Setelah menghindariku, hanya itu kalimat yang kau punya? Tidakkah kau ingin menjelaskan sesuatu? Wajah Lembayung seolah menampilkan sakit di hatinya.

“Aku akan ikut seleksi prajurit di Pajang.” Wira Saksana tetap melanjutkan kalimatnya meski tak ada respon dari Lembayung. Dia memunggungi gadis itu hingga tak sadar bahwa orang yang diajak bicara sudah sepenuhnya menghadap ke arahnya.

“Kapan kau berangkat?” satu kata dari Lembayung membuat Wira Saksana tersadar bahwa gadis itu penuh memperhatikannya.

“Lusa,” jawabnya sambil tersenyum.

Ada titik bening yang berusaha disembunyikan Lembayung dari matanya. Jadi begini akhirnya, mungkin itu yang ingin ia sampaikan lewat helaan nafas yang panjang.

“Maaf, aku tidak bisa tinggal menunggu acara besarmu.” Wira Saksana sudah tahu, Lembayung menelan ludah mendengarnya meminta maaf. Gadis itu seperti mendengar kepiluan di kalimat Wira Saksana. Tapi kemudian tertutupi oleh tawa yang renyah.

“Akhirnya aku bisa terbebas dari kemarahan Ki Ageng karena meladenimu.” Seketika setelah mengatakannya Wira Saksana tampak menyesal. Ini tidak benar, apa yang baru saja aku katakan. Wajahnya dengan jelas melukiskan hal itu.

Lembayung yang memalingkan wajah begitu pemuda di depannya tertawa tak melihat perubahan raut wajah Wira Saksana. Rahangnya mengeras.

“Jadi kau bahagia bisa terlepas dariku?” Wira Saksana mendengar kalimat Lembayung bergetar. Dia sudah merindukan panggilan Kakang yang biasa Lembayung gunakan untuk menyapanya.

Kau bertanya apakah aku bahagia? Aku bahagia atas seluruh waktu yang kita habiskan bersama. Aku tak ingin semua itu berakhir. Jelas Wira Saksana terlihat menahan sesuatu yang mungkin ia muntahkan di hadapan gadis pujaannya itu, namun hanya terakhir yang terlintas dipikirannya mampu dia suarakan,’kalau kau bahagia,’ “kenapa aku harus tidak bahagia?”

“Jadi kau benar-benar bahagia?” Lembayung justru kembali bertanya dengan pilu. Wira Saksana kaget atas reaksi gadis itu. Hatinya berdesir halus. Mungkinkah?

“Apa kau tidak bahagia menjadi calon menantu Adipati Mataram?” Pembicaraan ini entah apa maksudnya. Siapa yang menegaskan siapa.

Cukup Kakang Wira Saksana. Aku sudah mendapat jawaban darimu. Kau tak peduli padaku. Kau bahagia melihatku menikah dengan Sutawijaya. Bahkan kau tak merasa perlu menunggu kepastian dariku apakah aku menerima atau menolak lamaran itu. Kau akan pergi lusa. Wajah Lembayung kembali mengeras mendapat pertanyaan terakhir dari Wira Saksana.

“Kalau kau bahagia dengan itu, maka tak ada yang bisa kulakukan selain menjalaninya dengan bahagia.” Lembayung menjawab. Kemudian setelah menatap pemuda itu seolah tak akan pernah melihatnya lagi satu butir air menetes di pipinya.

Lembayung mengalihkan pandangannya kemudian berkata, “selamat jalan, Kakang. Semoga Kakang mendapatkan apa yang Kakang impikan.”

Wira Saksana tercenung oleh kalimat terakhir Lembayung. Dirinya tak mampu berkata apapun. Pemuda itu tak berani menafsirkan apapun. Saat mereka masih berhadapanpun dia sudah merasa kehilangan. Apalagi besok-besok. Ketika Lembayung benar-benar diboyong pergi oleh Adipati Mataram di hadapannya. Wira Saksana tak akan sanggup. Maka dia memutuskan untuk lebih dulu pergi. Menjadi prajurit Pajang mungkin akan sedikit menghibur hatinya.

~bersambung

KONTAK KAMI
(0274) 391377

Jl. Sunan Ampel 68 Trimulyo II Kepek Wonosari Gunungkidul Yogyakarta 55813

mansageka@gmail.com