
Minggu yang lalu, emak membuatkanku mong-mong nasi gudangan. Disajikan di satu piring dengan posisi nasi lincip seperti gunungan, dikelilingi rebusan sayur lengkap; bayam, kangkung, kacang panjang, wortel dan cambah yang dicampur bumbu gudangan. Empat irisan telur rebus ditata simetris. Disamping piring ada empat gelas diisi minuman yang berbeda; air kopi,
Air teh, air kunyit, air tawar. Semua harus kumakan. Bila tidak habis, emak yang menghabiskan.
Sajian yang wajib dibuat emak untukku. “Pesene bapakmu, le. Hanya tiap neptumu, harus kamu makan!”, itu yang selalu dikatakan emak saat menyajikan makanan istimewa itu.
Iya, itu makanan istimewa. Karena sepeninggal bapak, emaklah tulang punggung keluarga yang terdiri dari emak dan aku, anaknya. Bapak tidak meninggalkan harta kecuali satu rumah kecil berlantai semen kasar. Uang yang didapat bapak dari kerja tenaga bangunan saat masih hidup hanya untuk makan sehari-hari. Disisihkan sedikit untuk keperluan sekolahku.
Dua tahun berlalu, emak bekerja semampunya. Jadi tukang cuci dan bersih -bersih di rumah tetangga. Uang yang dihasilkan untuk makan sekedarnya dan uang sakuku. Kami tidak saling banyak menuntut. Emakku yang sederhana dan aku yang sekolah di MAN dengan prestasi terbaik di kelas. Aku tidak banyak berkegiatan di sekolah karena aku tidak ingin emak khawatir kalau aku sering terlambat pulang ke rumah.
Kami berdua terbiasa hidup sederhana, sepulang sekolah biasanya emak sudah sampai di rumah. Memasak nasi dan sambel bawang. Lauk krupuk yang beli di warung sebelah.
Aku membersihkan diri kemudian membantu yang belum terselesaikan.
Waktu istimewa kami adalah habis magrib, sepulang dari masjid. Emak membaca mushaf Qur’an dan aku harus belajar di dekatnya. Emak hanya berpendidikan MTs, tetapi dia mewajibkanku sekolah lebih tinggi darinya. Jadi kalau aku tidak belajar dengan alasan libur, aku disuruh membaca apa saja buku yang ada di rumah.
Seperti malam ini. Ini malam Sabtu. Berarti besok pagi libur. Aku bingung mau baca buku apa. Buku pelajaran sudah membosankanku. Buku-buku tinggalan bapak saat ngaji bersama pak Kyai di dusun sebelah, aku tidak bisa membacanya, karena kata emak itu kitab kuning, buku tipis bersampul sederhana dengan tulisan Arab kecil-kecil. Aku pun enggan membacanya.
“Mak, hmmm, aku jadi ingat; tadi di masjid MAN, ada kajian kitab berbahasa Arab dengan arti bahasa Jawa tulisan Arab. Arab Pegon. Kalau kitab seperti itu bapak punya tidak ya?,” tanyaku sebelum emak buka mushaf Qur’annya.
“Ada le, di kardus atas lemari. Bukan punya bapakmu, tapi milik emak saat dulu masih kecil ngaji di Madrasah Diniyah. Sebentar emak ambilkan,” jawab emak sembari membuka kardus lusuh tetapi didalamnya ada buku-buku kecil dalam kresek.
Buku asing tapi diambil emak dengan mata berbinar. Sambil bercerita bagaimana senangnya saat mempelajari buku itu. Suasana pedesaan dan penghormatan pada guru ngajinya.
Kemudian menatapku, “Mulai malam ini, malam Sabtu dan Minggu, karena paginya libur, kamu harus belajar ini sama emak. Buku kecil ini penting buat bekal hidupmu!”
Jawabku singkat, “Ya mak!”
Sejenak kemudian, emak begitu bahagia menerangkan inti tulisan dari buku itu dan melagukan sebagian dari isinya….
“Ya robbi sholli ‘alaa Muhammad…”
“Abda-u bismillahi…”
“Alaala tanaalul ‘ilma illa…”
….
Masyaalloh, emak tersenyum bahagia dengan ilmu yang akan diberikan kepadaku. Semakin aku menyadari betapa bersahajanya emakku dengan kondisi ekonomi yang hanya pas-pasan tetapi tetap mampu mendidik dan membesarkanku, karena memang memiliki ilmu yang mengajarkan ketauhidan, kecintaan pada Rasulullah SAW dan etika pencinta ilmu.
Emak, terimakasih. Aku berjanji akan membuatmu tersenyum dan membahagiakanmu…