Pentigraf oleh : Rita Indriana Rahmawati
Guru Matematika MAN 1 Gunungkidul
-=-=-=-=-

Di pinggir persimpangan jalan, di tengah lautan manusia yang berteriak, aku bersembunyi di balik semak-semak. Teriakan “Hidup rakyat!” dan nyanyian perjuangan bergemuruh, namun bagiku, itu hanyalah suara bising yang tak kumengerti. Aku menyaksikan kaki-kaki manusia berbaris memenuhi jalan. Instingku berkata aku harus segera pergi, tapi diantara kerumunan, aku tak punya celah untuk berlari.

Sebuah tangan meraihku. Seorang wanita berbando merah mencoba menggendongku, namun aku  reflek meronta. Kaget, wanita itu jatuh terjengkang, dan aku terpental. Menimpa manusia-manusia yang dengan kasar menghalau. Wanita berbando merah itu masih mengejarku. Akhirnya aku berdebam dengan keras di tengah jalan yang tidak sesak. Perlahan aku bergerak kembali. Tiba-tiba, tanpa bisa kuhindari, sebuah batu tepat menghantam kepalaku.  Aku mencoba berteriak, tapi yang keluar hanya suara cicitan. Kulihat kembali wanita berbando merah yang menatapku panik, rusuh mendekat mencoba melewati kerumunan dan mengindari hujan batu.

Sakit di kepalaku, rasanya tak tertahankan. Aku berkedip perlahan, berharap semua ini hanya mimpi. Tapi seguk tertahan wanita berbando merah menegaskan. Ini kenyataan. Aku sudah berada di ujung nyawa. Entah bagaimana, aku sudah berada dalam pangkuannya, agak menyingkir dari kerumunan massa. Kurasakan tangan wanita itu membelai sambil memanggil namaku disela tangisnya, “Milo… Milo…”, dalam sudut pandangku, kegelapan menelan perlahan. Sebelum aku masuk dalam kegelapan total, suaraku lirih keluar, “meong…”

TAMAT