—
Lidahku kelu, tak mampu berkata. Diam dalam gejolak rasa yang bergemuruh di dada. Seolah jantung ini ditikam perlahan, dan aku tak berdaya. Selembar kertas itu meluluhlantahkan jutaan benih bahagia yang kupungut satu demi satu setiap harinya. Lenyap tak tersisa.
“Mas, aku pamit.”
Semenjak itu, tak ada kabar darimu. Ragamu pun seakan lenyap, terbawa dahsyatnya gelombang Corona. Dan aku, dengan bodohnya masih percaya, kau akan kembali memungut sisa asa rasa di dada, datang sembuhkan luka. Dan kembali merajut jalinan rasa, bersama
“Hai, aku Reno.”
Jawabku singkat. Tak berjabat, hanya senyum simpul yang kau beri saat itu. Kubalas dengan barisan rapi gigiku, dilengkapi lesung pipit sebelah kananku.
Sejak saat itu, aku menutup mata. Tak kuhiraukan deretan wanita yang datang, untuk berkenalan denganku. Yang terus terngiang adalah senyuman itu, milikmu.
“Masih ingin lanjut bercerita? Atau dicukupkan saja untuk hari ini, Mas?”
Kutatap dua sorot mata itu. Penuh harap, agar tak lekas berlalu. Tak terasa aliran air menetes dari dua bola mata sipitku.
“Saya masih ingin melanjutkan,” sahutku.
Kuhabiskan akhir pekanku. Bertemu dengan dokter Lisa. Selama dua tahun ini. Dan aku tak pernah bosan, mungkin dia yang sudah muak, mendengar cerita dan keluh yang sama, dariku.
Jeruji pintu kamarku, masih terkunci rapat, mungkin para perawat itu takut, aku kabur seperti pasien lainnya…
*Awal pekan di bulan Juni, 2023*
Bersambung ke bagian #2