Minggu, 20-04-2025
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi

Menjemput Impian

Diterbitkan : Kamis, 3 April 2025

Cerpen Oleh : Umi Fatonah Rubiyatin, M.Pd.

—-

Panas siang itu terasa menyengat kepala, debu jalanan nampak mengepul saat langkah kaki bocah berusia 10 tahun itu berjalan cepat menuruni lembah terjal nan gersang. Tangan kirinya menggengam erat selembar kertas yang berisi pengumuman keberhasilannya menjuara festival dalang cilik tingkat kabupaten sekaligus pemberitahuan untuk maju ke tingkat propinsi bulan depan. Bintang tidak menyangka  dirinya berhasil menjadi juara satu.

Kepiawaiannya mendalang  rupanya menurun dari  almarhum kakeknya yang memang seorang dalang yang cukup tersohor di wilayahnya bahkan Utari, ibunya pun juga sering tampil bersama kakeknya sebagai seorang pesinden sewaktu masih gadis. Senyuman Bintang tersungging di bibirnya, bayangan ibu dan neneknya yang menanti di rumah terbayang jelas di pelupuk matanya.  Langkah kakinya semakin cepat, tak sabar rasanya dia ingin segera sampai di rumahnya. Tak dihiraukannya keringat yang membasahi seragam merah putihnya, juga jari kakinya yang terluka terkena kerikil-kerikil tajam di jalan.

Sepatu kecilnya tak lagi cukup menopang kakinya yang semakin memanjang hingga jarinya menyembul keluar dari ujung sepatunya yang sobek karena dimakan usia. Sampai di halaman rumahnya yang tertutup rapat Bintang berteriak memanggil ibu dan neneknya ingin segera mengabarkan berita gembira itu.

Ibuk…..Mbah!”, panggilnya sambil membuka pintu rumah.

Lho …lho….lho….iki ono opo to Le, kok mulih-mulih bengok-bengok ora uluk salam”,ucap nenek Bintang sambal membuka pintu. “Eh iya Mbah, assalamu’alaikum”.“Wa’alaikumsalam”…nah ngono kuwi lagi putuku sing bagus”,

Wanita berusia 56 tahun yang biasa dipanggil mbah uti oleh Bintang merangkul cucu kesayangannya.“Bintang sudah pulang?”, ibunya muncul dari kebun samping rumah sambal membawa bakul berisi sayuran yang habis dipanennya. “ Lihat Buk, Mbah, aku bawa apa?”, tanya Bintang tersenyum sambal mengibas-ngibaskan pengumuman kemenangannya.“Opo kuwi?’.“Itu apa?”, ibu dan neneknya kompak bertanya.

“Aku berhasil menjadi juara dalang cilik se-kabupaten Buk, Mbah?’, ucapnya bangga. “Masya allah, alhamdulillah…..hebat kamu Nak?”, Utari memeluk Bintang sambil mengecupi kedua pipinya, begitu juga dengan neneknya. Mereka bertiga berpelukan beberapa saat sampai akhirnya Utari menyuruhnya ganti baju dan makan.

Bintang makan dengan lahap meskipun lauknya hanya sambal dan ikan asin serta lalapan daun singkong yang dipetik neneknya dari kebun. Kehidupan Bintang dan ibunya serba pas-pasan, sepeninggal kakeknya. Dulu saat kakeknya masih hidup mereka bisa hidup dengan layak karena kakek Bintang sering menerima order untuk pentas di beberapa tempat dengan penghasilan yang lebih dari cukup untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari.

Baskoro, ayah Bintang bukannya melupakan anak dan isterinya dan tutup mata dengan kehidupan mereka, namun ibunya selalu saja mengikuti gerak-gerik Baskoro hingga membuat laki-laki itu tak berkutik. Pernikahan keduanya yang tidak direstui ibu Baskoro membuat Bintang menjadi korban. Jangankan menemui mereka, sekedar untuk mengirimkan uang saja tidak bisa. Begitulah……Baskoro benar-benar dijauhkan dengan anak dan isterinya itu.

“Bu,  besok pas maju lomba aku pengin beli sepatu baru nanti Ibu tambahin uangnya  ya , lihat sepatuku?”, Bintang menunjukkan sepatu lamanya yang sudah banyak bolongnya itu karena sepatu itu memang dibeli saat Bintang masuk kelas 1 SD sementara dia sekarang sudah duduk di kelas 4.

Utari menghela nafas, seakan mengeluarkan beban hidup yang begitu menghimpit dadanya. Begitu banyak ujian yang harus mereka hadapi mulai dari kepergian suaminya, berpulangnya ayahnya beberapa waktu kemudian, hingga satu persatu tanah peninggalan ayahnya dijual untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari juga untuk biaya pengobatan nenek Bintang yang menderita sakit asma.

Sekarang Utari lah yang menjadi tulang punggung untuk Bintang dan ibunya.  Terkadang Utari membantu tetangganya yang membutuhkan jasanya mencuci atau menyeterika juga memasak jika ada tetangganya yang punya hajat. Kebetulan Utari memiliki kepandaian dalam mengolah masakan, khususnya masakan Jawa, ini pula lah yang terkadang membuat Baskoro selalu teringat isterinya, dan selalu  menolak wanita-wanita yang disodorkan ibunya untuk menjadi isteri Baskoro pengganti ibu Bintang. Utari juga sering membuat jajanan tradisional dan menitipkannya di warung-warung langganannya.

Kondisi perekonomian yang minim tidak  membuat Bintang putus asa atau malas belajar. Justru keadaan  mereka yang minim lah yang memicunya untuk belajar tak kenal lelah. Bintang dikenal sebagai anak yang cerdas, berbakat, dan suka menolong. Sejak kelas satu sampai kelas empat Bintang selalu ranking pertama di kelasnya. Bakat seni yang mengalir dari kakek dan ibunya terlihat  pada Bintang sejak kecil.

Ya ….sejak kecil kakeknya selalu mendongeng cerita wayang sebelum tidur, tak heran dia sudah hafal nama-nama tokoh pewangan dengan berbagai macam kisahnya. Bintang juga anak yang tau diri, melihat ibunya yang pontang panting bekerja dia tak pernah meminta uang saku, di saat teman-temannya jajan dia lebih suka menyendiri di kelas sekedar membaca buku pelajaran atau membuka-buka kembali catatan dari gurunya, tak heran dia menjadi anak yang cukup cerdas.

Bintang juga tak malu membawa jajanan hasil olahan ibunya dan dijual kepada teman-temannya. Ini juga lah yang membuat guru-gurunya bangga padanya. Begitulah Bintang melalui hari-harinya, pagi sampai siang sekolah tentu saja tak lupa membawa dagangan ibunya, sepulang sekolah Bintang membantu ibunya di kebun samping rumahnya yang tak terlalu luas, malam harinya sepulang  mengaji Bintang belajar di kamarnya yang sempit.

          Di tempat lain di sebuah rumah bertingkat yang cukup megah…….

Seorang wanita berusia sekitar lima puluh lima tahun yang masih terlihat cantik di usianya yang tidak lagi muda terlihat duduk di sebuah sofa mewah di ruang tamunya. Baskoro, suami Utari terlihat duduk di depan wanita itu yang tak lain adalah Nyonya Ambarwati, ibu Baskoro sementara Raden Mas Kartasasmita, ayah Baskoro terlihat berdiri sambal berkacak pinggang, dadanya naik turun menahan amarah.

“Ma, sudahlah, anakmu sudah besar, mau berapa lama lagi kau menahannya di sini, hah! Anakmu sudah dewasa, dia sudah punya anak dan isteri, dan mereka butuh kasih sayang ayahnya”, ayah Baskoro masih terlihat sangat marah dengan isterinya yang masih juga melarang Baskoro kembali kepada Utari.

“Ma, lebih baik aku pergi dari rumah ini, aku tidak membutuhkan harta warisan kalian, yang aku butuhkan anak dan isteriku, Ma”, Baskoro terlihat putus asa dengan sikap keras ibunya.

Nyonya Ambarwati terdiam mendengar ucapan Baskoro, putra sulung sekaligus anak laki satu-satunya dalam keluarga mereka. Dia bimbang diantara dua pilihan; menerima Utari dan anaknya meski dia bukan menantu pilihannya atau melepas Baskoro, yang berarti kehilangan anak laki-laki yang selama dia banggakan.“Baiklah , aku ijinkan kau menemui anak isterimu, aku akan mencoba menerima mereka di rumah ini , meski aku belum menganggapnya sebagai bagian dari keluarga ini”, Utari akhirnya menyerah.

“Terima kasih, Ma, aku janji Mama akan jatuh hati pada anak dan isteriku, jika mereka sudah tinggal bersama kita di sini,” Baskoro memeluk ibunya sambil tak henti-hentinya bersyukur, akhirnya ibunya bersedia menerima Utari dan Bintang untuk tinggal bersama-sama di rumah itu.

Hari berganti hari, hingga tak terasa hari ini Bintang ditemani ibu dan Bu Astuti, wali kelasnya tengah berada di sebuah gedung seni tempat dilangsungkannya festival dalang yang diikuti Bintang. Ratusan pasang mata tampak terpukau oleh kepiawaian Bintang dalam mendalang. Bintang tampil dengan penuh percaya diri dan mencuri perhatian para juri, termasuk salah satu tamu kehormatan yang duduk di kursi paling depan yang tak lain adalah Baskoro ayah Bintang.

 Ya….Baskoro mendapat undangan khsusus sebagai juri tamu kehormatan dari kalangan pengusaha. Utari memeluk Bintang dengan erat saat dia turun dari panggung, dia begitu bangga dengan anak laki-laki satu-satunya itu. Utari tidak menyangka jika Bintang sangat pandai mendalang di usia yang masih sangat belia.

 Akhirnya setelah menunggu hampir satu jam, panitia memanggil seluruh peserta untuk duduk di tempat yang telah disediakan. Saat disebutkan juara harapan 2 hingga juara kedua, dada Bintang berdegup kencang, bahkan dia tampak menahan napas. Terlebih saat namanya dipanggil oleh panitia  saat disebutkan juara 1 Bintang seketika memeluk ibunya yang berada persis di sampingnya.

Setitik air mata bahkan terlihat di sudut kedua matanya, Bintang menangis tak menyangka jika perjuangannya selama ini berbuah manis, meski pada awalnya dia cukup ragu. Namun dukungan dari ibu, nenek, guru-guru dan juga teman-temannya membuat Bintang selalu bersemangat.

Bintang dan ibunya segera naik ke atas panggung setelah salah seorang panitia meminta keduanya untuk naik. Sementara Baskoro yang duduk di depan menatap tak berkedip keduanya, seakan-akan meyakinkan dirinya sendiri, benarkah yang di atas panggung itu anak dan isterinya? Wajarlah….Baskoro sudah dipisahkan dengan anak dan isterinya saat Bintang baru bisa merangkak. Namun yang pasti wajah Utari lah yang membuat Baskoro tidak mungkin lupa dengan isterinya itu. Hingga saat Utari dan Bintang turun dari panggung dengan sejumlah piala dan hadiah yang diterima Bintang, Baskoro memberanikan diri mendekati keduanya.

“Utari, benarkah ini kau?,”tanyanya saat wanita yang tak pernah hilang dari hatinya itu ada di depannya. “Mas…Mas Baskoro,” suara Utari bergetar menahan haru tidak menyangka bertemu dengan laki-laki yang mengukir jiwa anaknya itu di sini. “Iya Utari, aku Baskoro, suamimu, dan apakah anak yang pintar mendalang ini putraku?,” “Ibu, Om ini siapa?,” Bintang menarik tangan ibunya agar mendekat padanya. “Bintang, ini ayahmu, Nak, selama ini ayahmu bekerja di kota,” jelas Utari, tentu saja dia tidak mau mengatakan yang sebenarnya jika selama ini ibu mertuanyalah yang memisahkan mereka. Baskoro sedikit merendahkan badannya agar sejajar dengan anaknya itu sembari mengelus wajah tampannya.

“Ini ayah, sayang, maafkan Ayah ya baru sekarang Bintang ketemu karena ayah harus kerja di luar kota,” jelasnya sedikit berbohong.Seketika Bintang memeluk ayahnya, laki-laki yang selama ini dirindukannya diam-diam dalam tidur malamnya. Sekarang Tuhan telah mengabulkan doanya, mempertemukan mereka kembali dan menjadi sebuah keluarga yang utuh seperti yang selama ini diimpikannya, impian seorang anak kecil yang merindukan sosok ayahnya.

Penulis : blogmansageka

Tulisan Lainnya

Oleh : blogmansageka

Kicau Racau Bumi

Oleh : blogmansageka

Mudik

Oleh : blogmansageka

Pasar Ilang Kumandange

KONTAK KAMI
(0274) 391377

Jl. Sunan Ampel 68 Trimulyo II Kepek Wonosari Gunungkidul Yogyakarta 55813

man1gunungkidul@gmail.com