Minggu pagi itu saya berniat belanja sayur ke pasar, melewati alun-alun kota yang mulai ramai. Udara segar, matahari hangat, dan para pedagang mulai menggelar dagangan. Tapi ada satu pemandangan yang mencuri perhatian: sekelompok orang—kebanyakan ibu-ibu muda dan remaja putri—berjalan kecil di seputar alun-alun, lengkap dengan kostum olahraga yang sangat siap. Terlalu siap, malah.
Sepintas tidak ada yang salah. Tapi ini bukan pertama kalinya saya melihat fenomena ini. Setiap akhir pekan, hampir selalu ada pemandangan yang sama: dandanan full glam, legging ketat bermerek, sepatu putih menyala, dan riasan wajah full coverage. Saya jadi bertanya-tanya: apakah mereka benar-benar ingin berolahraga…. atau sekadar ingin tampil dan dilihat? Olahraga atau caper?
Saya tidak sedang menyindir siapa pun secara spesifik. Tapi kalau Anda termasuk yang rutin mengamati suasana pagi di ruang publik, Anda pasti pernah melihat pemandangan ini: sekelompok perempuan dengan legging warna neon, jaket lari ala atlet luar negeri, sepatu putih mengilap (yang entah pernah injak tanah atau tidak), dan riasan wajah level semi-wedding. Lalu… berlari kecil sebentar, foto tiga kali, lalu duduk di pinggir trotoar sambil update status: “Sehat itu mahal, sayang!”
Saya bukan anti penampilan menarik. Tapi ada pertanyaan yang menggelitik: kalau benar niatnya olahraga, mengapa butuh waktu satu jam hanya untuk menata jilbab olahraga dengan tiga lapis inner dan bros segede kancing pintu? Atau kenapa harus full make up, padahal keringat itu tak pernah bohong? Sementara para lelaki? Biasa saja. Kaos lama, celana training belel, dan sandal jepit. Fokus mereka cuma satu: gerak.
Fenomena ini tentu tidak bisa disamaratakan. Ada yang memang benar-benar serius berolahraga. Tapi tidak sedikit pula yang menjadikan arena publik sebagai runway dadakan—di mana keringat bukan tujuan, melainkan sekadar efek samping. Yang penting: terlihat niat, difoto dengan angle estetik, dan jangan lupa hashtag: #HealthyLifestyle #NoPainNoPose.
Menariknya, ritual ini seolah sudah menjadi budaya baru: “berolahraga sosial”. Di mana yang dicari bukan detak jantung naik, tapi impresi sosial yang meningkat. Bukan target kalori, tapi target komentar. Maka tidak heran jika sebagian dari mereka lebih sibuk membuka kamera daripada meregangkan otot.
Lalu, apakah salah? Tentu tidak. Kita hidup di zaman di mana visual sering mengalahkan niat. Tapi kadang, akan lebih menyenangkan jika olahraga benar-benar dilakukan untuk tubuh sendiri, bukan demi konten. Karena treadmill tidak peduli warna sepatu Anda, dan keringat tidak bisa difilter seperti Instagram.
Sungguh tidak masalah ingin tampil rapi saat olahraga. Tapi berlebihan hanya akan membuat kita lupa esensinya. Olahraga itu bukan lomba gaya, melainkan ibadah fisik untuk diri sendiri. Boleh tampil modis, tapi jangan sampai ngos-ngosan hanya karena legging terlalu ketat dan jaket terlalu tebal.
Yang paling kasihan justru…. tumit. Karena sepatu baru yang belum ‘disetujui’ oleh tubuh, sering kali malah menimbulkan lecet. Tapi demi estetika, rasa sakit bisa diabaikan. Kata mereka: “Cantik itu perjuangan.” Tapi keringat juga perjuangan, lho. Dan tidak semua perjuangan harus diunggah ke story.
Saya jadi berpikir, mungkin kita memang butuh dua jalur di taman: satu untuk pelari beneran, satu lagi untuk pelari kamera. Biar tidak saling ganggu. Yang satu lari mengejar stamina, yang satu lari mengejar cahaya matahari terbaik untuk selfie. Keduanya punya motivasi. Hanya saja… sasarannya berbeda.
Akhirnya, olahraga tetaplah olahraga. Mau penuh gaya atau polos saja, semua kembali ke niat dan tubuh masing-masing. Tapi semoga, di antara banyak lapisan bedak, legging berkilau, dan postingan bertagar sehat—masih terselip detik-detik gerak tulus yang benar-benar dilakukan demi menjaga hidup. Bukan demi like, tapi demi detak.