Minggu, 11-05-2025
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi

Rara Lembayung. #3

Diterbitkan : Jumat, 9 Mei 2025

Cerita Bersambung Oleh : Rita Indriana Rahmawati

-=-=-=-=-

Sesampainya di rumah, Lembayung mendapati seseorang berbincang dengan rama di beranda. Menyadari siapa tamu ramanya, Lembayung mengerti, siapa beberapa orang tak dia kenal yang ditemuinya dalam perjalanan. Menyaru dengan warga seolah petualang yang sedang beristirahat. Mereka pasti menyertai lelaki itu.

“Paman Pemanahan.” Lembayung menyapa dengan riang. Mengalihkan pedang kayu ke tangan kiri. Menyampaikan salam taklim, salim, menjabat sambil mencium punggung tangan Ki Ageng Pemanahan yang tersenyum memandangnya.

“Lihatlah, gadis kecilku sudah demikian dewasa, Kakang!” Kata Ki Pemanahan sambil menoleh pada Ki Kertanadi .

Lembayung sempat menangkap tatapan resah dari mata ramanya. Tetapi gadis itu tahu, tak semestinya dia berlama-lama mengganggu, maka Lembayung segera masuk. Setelah menyimpan senjatanya di bawah tempat tidur, Lembayung menuju dapur di mana Nyai Talang Warih berada.

“Kau tertangkap lagi oleh ramamu?” tanya biyung padanya.

Lembayung harus mendengar omelan kemudian. Nyai Talang Warih dengan kesal mengatakan bahwa Lembayung tak akan pernah menikah jika kelakuannnya masih seperti ini. Dia beranggapan tak akan ada pemuda yang mau dengan gadis yang terlalu banyak polah. Sambil mengangkat kukusan berisi singkong dari periuk tanah liat wanita yang tengah menuju masa senja itu bertanya kapan Lembayung akan menghentikan kekeras kepalaan.

“Biyung kira, Lembayung tidak tahu. Seorang gadis berkuda menantang rama bertarung, hanya demi memperebutkan setandan pisang di pinggir hutan.” Lembayung duduk di bale-bale bambu menggoda biyungnya, mengambil sepotong singkong dengan taburan kelapa parut yang masih mengepul hangat.

“Anak ini selalu punya alasan membela diri.” Nyai Talang Warih menghentikan aktifitas lalu menatapnya.

“Biyung, kenapa Paman Pemanahan datang? Mau mengajak kakang ke Mentaok[1]? Apa yang sebetulnya direncanakannya?” tanya Lembayung penasaran. Gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Wanakusuma tidak akan pergi kemana-mana. Kau tahu itu.” Yang Lembayung tahu, Nyai Talang Warih tidak begitu menyukai Ki Ageng Pemanahan, entah untuk alasan apa. Maka Lembayung tak heran mendapat tanggapan itu dari biyungnya.

“Kalau kau mau tahu kenapa pamanmu itu datang, ini! Sajikan ke beranda!” Perintahnya kemudian sambil meletakkan nampan tanah yang diatasnya ada sebuah piring dengan singkong serta gelas yang juga terbuat dari tanah. Diletakkan pula sebuah kendi yang penuh air di dekat nampan. Tak bisa dibawa bersama.

“Gusti Allah. Biyung menyuruhku menjadi telik sandi.” Lembayung meloncat berdiri, pura-pura kaget. Nyai Talang Warih mengurut dada melihat kelakuan anak gadisnya.

Tak urung Lembayung memenuhi keinginan biyungnya. Saat membawa nampan keluar, Lembayung sengaja berlama-lama. Berjalan pelan-pelan sambil menguping pembicaraan.

“Bumi Mentaok semakin berkembang, Kakang. Kami mempunyai prajurit sendiri sekarang. Aku sudah tua, saatnya menyerahkan segalanya kepada Sutawijaya.” Terdengar Ki Ageng Pemanahan bercerita.

Lembayung semakin memperlambat jalannya, mencoba mencuri dengar lebih banyak. Tak didengar rama menyahut. Justru Ki Ageng Pemanahan kembali melanjutkan kalimatnya bahwa Kadipaten Mataram akan berkembang lebih pesat di tangan Sutawijaya.

“Bawa segera nampan itu ke sini, Lembayung!” Lembayung yang masih berdiri di balik pintu terperanjat. Hampir saja menjatuhkan nampan di tangannya. Lembayung lupa ramanya punya indera setajam pedang, jangankan hanya mendengar gerakan kaki Lembayung, mendengar dan membaca tanda-tanda alam saja lelaki itu mampu.

Gadis itu dengan kikuk berjalan keluar, kemudian meletakkan nampan di tangannya. Berbalik dengan cepat untuk mengambil kendi yang masih ada di bale-bale dapur.

“Ini semua karena Biyung.” Katanya sambil memandang kesal pada Nyai Talang Warih.

Nyai Talah Warih memandangnya tak mengerti, kemudian tertawa.

“Kau memang tak punya keahlian menyelinap dari ramamu.”

“Kalau nanti rama marah, akan kukatakan bahwa biyung yang menyuruhku.” Lembayung marajuk sambil mengangkat kendi dengan tangan kanannya.

“Tanpa biyung suruhpun, kau akan melakukannya, bukan?” Biyungnya tak mau kalah.

Bukan Lembayung kalau dia menyerah begitu saja. Teknik menyajikan nampan diulanginya. Gadis itu tetap berjalan pelan-pelan, kembali mencoba mencuri dengar.

“Kakang ingat, bertahun silam saat alam memberi tanda-tanda?” Ki Ageng Pemanahan terdengar bertanya pada Ki Kertanadi.

Lembayung sempat mendengar cerita itu. Bahwa sesungguhnya alam telah memberi tanda-tanda. Sebelum Ki Ageng Pemanahan menjadi penguasa Mentaok yang sekarang berkembang menjadi Kadipaten Mataran itu, dia mencari datangnya wahyu kedhaton. Wahyu kedhaton yang justru datang pada rama, bukan Ki Ageng Pemanahan. Gadis itu mendengar pertanyaan tak mengerti dari orang yang dipanggilnya paman itu, mengapa rama tak segera mengambil kesempatan itu dulu. Hingga terambil olehnya.

“Aku tidak tertarik menjadi penguasa Adi. Bagiku hidup damai di sini tak tergantikan. Aku lebih suka mendekatkan diri dengan Sang Pencipta daripada hidup dengan penuh ambisi karena kekuasaan.” Akhirnya Lembayung mendengar ramanya berbicara. Itulah yang selalu diajarkan rama kepadanya dan kakaknya. Menjauh dari hingar bingar kekuasaan.

“Lalu bagaimana dengan anak-anakmu? Wanakusuma?” Ki Ageng Pemanahan bertanya. KI Kertanadi terdiam dia seolah menakar maksud dari adik seperguruannya itu.

“Wanakusuma punya prinsip yang sama denganku, Adi.” Kali ini Lembayung mendengar ramanya menjawab dengan tegas.

Lembayung mendengar ramanya tetap kukuh dengan pendirian, bahwa Wanakusuma kelak akan melanjutkan padepokan dan tak akan pergi ke Mataram.

“Hahaha… Sayang sekali, Kakang. Wanakusuma sebetulnya lebih dari mampu untuk menggantikan Sultan Hadiwijaya di Kedhaton Pajang.” Lembayung justru menagkap kesan lega daripada kecewa dalam kalimat Ki Ageng Pemanahan. Gadis itu tak masih tak mengerti, apa yang sedang rencanakan pamannya.

“Jaga bicaramu, Adi!” sentak Ki Kertanadi. Ki Ageng Pemanahan terdiam seketika.

Lembayung yang masih mematung di balik pintu berniat menyelamatkan suasana. Dia keluar. Sambil meletakkan kendi dia berkata, “Minumnya, Paman! Di ambil dari mata air yang jernih. Meskipun dikelilingi bukit gersang airnya juga manis seperti air di Mentaok.”

“Hahaha… Anak gadismu cerdas sekali, Kakang.” Akhirnya Ki Ageng Pemanahan mengalihkan pembicaraan. Lalu menanyakan apakah belum ada pemuda yang melamarnya. Lembayung yang baru saja melangkahkan kaki melewati pintu terlihat kesal, kenapa hari ini semua orang mengkhawatirkan nasib pernikahannya.

“Dia belum cukup dewasa untuk berumah tangga, Adi.” Ki Kertanadi melunakkan nada bicaranya. Terkesan was-was dengan arah pembicaraan.

“Kau terlalu melindunginya, Kakang. Meganggapnya masih gadis kecil yang bisa kau gendong kemana-mana.” Ki Ageng Pemanahan menanggapi sambil tertawa. Mengangkat kendi dia kemudian.

Terdengar suara kerucuk air yang dituang mengisi gelas tanah. Meskipun matahari sudah condong ke barat, sinarnya masih menyengat. Hawa panas yang ditimbulkan tak juga takluk oleh angin.

Tak mendapat tanggapan Ki Ageng Pemanahan sedikit berbasa-basi, berkata bahwa air yang diminumnya memang terasa manis, seperti yang disampaikan Lembayung. Ki Kertanadi terlihat sedikit lega mendengarnya.

“Kakang, bagaimana kalau kita berbesanan?” tanya Ki Ageng Pemanahan kemudian.Lembayung yang masih dalam perjalanannya menuju dapur membeku. Menghentikan langkah. Berbesanan? Lembayung tahu, Ki Ageng Pemanahan tak berminat mengambil Wanakusuma untuk menjadi menantu. Otak Lembayung berpikir cepat. Itu berarti dirinyalah yang dimaksud. Dan anak lelaki yang paling dibanggakan Ki Ageng Pemanahan hanyalah Sutawijaya.

“Kau terlalu berlebihan Adi Pemanahan.” Lembayung mendengar ramanya menjawab dari beranda. Ki Kertanadi tak kalah terkejut dari Lembayung.

“Sutawijaya memerlukan pendamping yang kuat untuk menjadi orang besar.” Ki ageng Pemanahan berkata.

“Lembayung bukan orang yang tepat, Adi.” Lembayung tersenyum mendengar jawaban ramanya. Bisa dia bayangkan bagaima wajah ramanya saat mencoba mengatasi masalah yang tiba-tiba hadir.

“Kakang akan sulit mencari pemuda yang bersedia memperistri Lembayung. Darah ningrat yang mengalir dalam tubuhnya terlalu kuat untuk diingkari.” Ki Ageng Pemanahan menyanggah kalimat Ki Kertanadi.

“Ijinkan kami hidup damai di desa Adi Adipati.” Ki Kertanadi akhirnya memanggil jabatan Ki Ageng Pemanahan. Masih mencoba menawar.

“Anak gadismu akan cocok menjadi istri Adipati Mataram. Aku berencara menyerahkan jabatan itu pada Sutawijaya segera. Bisa kau bayangkan, Kakang, Sutawijaya didampingi Niken Purwosari memimpin Mataram.” Ki Ageng Pemanahan menyampaikan impiannya yang mengembara.

Lembayung masih mematung, menunggu apa yang akan dikatakan ramanya

“Kau tak bisa memaksakan keinginanmu, Adi!” Ki Kertanadi menjawab. Lembayung menghembuskan nafas lega.

“Aku masih seorang adipati, Kakang. Hahaha…” mendengar apa yang diucapkan, Lembayung tiba-tiba begitu membenci orang yang selalu dipanggilnya paman itu. Dengan hati mengkal dia meninggalkan ruang tengah, menuju dapur dimana Nyai Talang Warih sedang menanak nasi.

“Baiklah. Begini saja. Aku akan kembali dalam satu purnama. Jika saat aku kembali dengan Sutawijaya, anak gadismu itu belum menjadi isri orang. Kau tak bisa menolak lamaranku. Begitu Kakang?” Ki Ageng Pemanahan tak memberi kakak seperguruannya pilihan.

Ki Kertanadi terdiam. Ada yang mengiris hatinya. Ternyata inilah yang membuatnya resah belakangan ini. Lelaki yang pandai membaca tanda-tanda itu menghembuskan nafas dengan berat. Apapun telah diupayakan untuk menjauhkan anak-anaknya dari kehidupan yang penuh perebutan kekuasaan.

Ki Kertanadi bahkan menolak wanita yang ingin belajar kanuragan, mengowahi adat kakek dan ayahnya dalam menjalankan padepokan. Itu hanya agar Lembayung tidak memberontak karena tak diijinkan berlatih. Ki Kertanadi tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan anak gadisnya, ketika dirinya memperbolehkan murid perempuan lain belajar ilmu kanuragan tetapi menolak Lembayung. Lelaki itu hanya tak mau, Lembayung akan mendapat masalah dengan para penguasa karena keahliannya.

Kini Ki Kertanadi seolah merasa semua usahanya sia-sia. Ki Ageng Pemanahan sedang menjalankan taktik politik tingkat tinggi. Memastikan Wanakusuma tak tertarik dengan hingar-bingar politik sekaligus ingin menyandera anak gadisnya. Menjadikan Lembayung istri Sutawijaya, memberi Adipati Mataram itu keuntungan yang berlipat. Menambahkan darah bangsawan ke dalam keluarganya, sekaligus memastikan tak ada yang akan merebut kekuasaannya atas tanah Mataram.

Ki Kertanadi bukanya tak mendengar upaya-upaya Adipati Mataram itu meski masih dibawah kekuasaan Kasultanan Pajang. Bagi lelaki yang batinnya terasah tajam itu, tak sulit menerka ke mana arah seluruh usaha adik seperguruannya. Tapi dia memilih diam.

“Kau tak memberiku pilihan, Adi.” Ki Kertanadi menjawab kemudian.

“Hahaha… Kau sungguh mengenalku, Kakang.” Ki Ageng Pemanahan kembali tertawa sebelum mengambil sepotong singkong dari piring di atas nampan.

Masih ada harapan dalam hati Ki Kertanadi, meski hanya setipis benang. Dia masih bisa melakukan usaha untuk menyelamatkan Lembayung. Lelaki itu merasa harus bicara dengan pemuda itu segera.

Malam hari angin menerobos celah-celah gedek yang menutup sebagian rumah Ki Kertanadi. Sebagian yang lain tertutup papan kayu yang ditata sedemikian rupa. Kemarau sedang berada di puncaknya. Siang yang terasa begitu menyengat segera berganti dengan hawa yang menusuk saat matahari mulai terbenam.

Ki Kertanadi mengumpulkan seluruh keluarganya di ruang depan. Seduhan teh tak lagi mengepulkan uap. Singkong kukus sisa tadi siang yang menemani, utuh tak tersentuh. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada satupun yang mencoba memulai pembicaraan.

“Wanakusuma…,” Ki Kertanadi akhirnya mengawali. Memecah keheningan yang mencekam.

“Ya, Rama.” Wanakusuma menjawab. Bersiap mendengarkan tutur kata ramanya.

“Nanti, setelah aku menghadap Gusti Allah, kaulah yang akan meneruskan padepokan ini,” ki Kertanadi menjeda kalimatnya.

“ Ilmuku tak akan cukup untuk membimbingmu Wanakusuma. Maka kuperintahkan kau untuk berkelana. Hiduplah dengan laku prihatin! Carilah seorang guru di luar sana tanpa meninggalkan prinsip-prinsip yang telah rama ajarkan!” Wanakusuma menunduk, mendengarkan perintah dari ramanya.

“Kau punya satu bulan mempersiapkan petualanganmu.” Ki Kertanadi melanjutkan kalimatnya pada Wanakusuma.

“Dalam satu bulan ini, ada hal yang harus rama lakukan berkaitan dengan adikmu. Kau boleh pergi setelah semua jelas, Wanakusuma!” Ki Kertanadi mengalihkan wajah pada Lembayung yang sedikpun tak menampakkan senyumnya.

“Baik, Rama!” Wanakusuma menjawab.

“Lembayung! Kau sedikit banyak sudah mendengar apa yang dikatakan Pamanmu Pemanahan.” Kini Ki Kertanadi mengalihkan pembicaraan pada Lembayung.

“Rama akan menjelaskannya kepada kalian semua di sini,” katanya melanjutkan.

“Adipati Mataram, Paman Pemanahan, berniat mengambil Lembayung sebagai menantunya,” Ki Kertanadi menjeda penjelasannya.

“Rama sudah mencoba mengelak, ” Ada hembusan nafas berat mengiringi kalimatnya.

“Bukankah masih ada waktu satu bulan, Rama?” Lembayung memotong penjelasan ramanya.

“Lembayung tidak mau menjadi istri Kakang Sutawijaya.” Katanya kemudian sambil tersengal karena emosi.

“Akan sulit mencari pemuda yang bersedia menikahimu dan kau bersedia menikah dengannya dalam waktu satu bulan, Lembayung. Sementara menolak lamaran seorang Adipati Mataram tanpa alasan yang bisa diterima nalar adalah hal yang berisiko tinggi.” Ki Kertanadi menjawab lembut.

“Tenang, Nduk! Cah ayu!” Nyai Talang Warih yang sedari tadi diam, terdengar menenangkan Lembayung yang mulai terisak.

“Lembayung akan menemukannya, Rama. Lembayung pasti akan menemukannya.” Jawab Lembayung kemudian.

Wanakusuma menatap adiknya prihatin.Menggeleng-geleng kemudian, seakan tahu siapa yang dimaksud.

Pembicaraan selanjutnya seperti tanpa arah yang jelas. Tak ada kesimpulan yang bisa mereka ambil dari masalah pernikahan Lembayung. Ketika hawa semakin menusuk tulang, Lembayung dan Wanakusuma memasuki bilik masing-masing. Tertinggal pasangan suami istri yang beranjak tua itu saling berbincang.

“Cobalah bicara dengan Wira Saksana, Kakang!” Nyai Talang Warih terdengar memohon pada suaminya.

Ki Kertanadi menyanggupi. Lelaki itu menangkan istrinya bahwa dia akan mencoba segala cara untuk memastikan Lembayung tetap bersama mereka.

“Apa yang akan terjadi dengan anakku kalau dia dibawa Pemanahan ke Mentaok?” keluh Nyai Talang Warih kemudian. Ada perih dalam nada suaranya.

bersambung ke bagian #4

Penulis : blogmansageka

Tulisan Lainnya

Oleh : blogmansageka

Yuk Belajar Tentang Pancasila

Oleh : blogmansageka

Mbah Kyai Bardan

KONTAK KAMI
(0274) 391377

Jl. Sunan Ampel 68 Trimulyo II Kepek Wonosari Gunungkidul Yogyakarta 55813

man1gunungkidul@gmail.com