Senin, 02-06-2025
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi

Rara Lembayung. #4

Diterbitkan : Rabu, 21 Mei 2025

Cerita Bersambung Oleh : Rita Indriana Rahmawati

-=-=-=-=-

Ki Kertanadi selalu memulai aktifitas sebelum semburat pertama muncul di langit timur. Lelaki itu memandang langit bertabur bintang dengan mata menerawang.

“Semua akan baik-baik saja kan, Kakang?” Tanpa disadari kedatangannya, suara Nyai Talang Warih tiba-tiba mengagetkan. Dia berdiri di belakang, menunggu suaminya beranjak dari padasan tanah liat, untuk melakukan hal sama dengan yang dilakukan Ki Kertanadi.

“Semoga saja Nyai. Mari kita berdoa pada Yang Menguasai Segalanya.” Ki Kertanadi mengalihkan pandangan dari kejora dini hari ke wajah istrinya. Wajah, yang meski sudah menua, masih mampu menghangatkan hati.

“Tapi, hati kecilku mengatakan, jika Lembayung pergi semua tidak akan baik-baik sa…”

“Hentikan, Nyai! Berkatalah yang baik. Adillah kepada anakmu sejak dari dalam pikiran. Perkataan dan kata hati seorang ibu adalah doa.” Ki Kertanadi meninggalkan Nyai Talang Warih setelah memotong kalimatnya.

Tinggallah ibu dua anak itu terdiam sendiri. Nafasnya berat sambil mendongkakkan kepala ke arah langit.

“Gusti.., berikanlah yang terbaik untuk anakku,” doanya sambil menyeka bulir yang keluar dari pelupuk mata. Detik berikutnya, air mulai mengaliri sela jari-jemari. Saat air yang menggigilkan itu membasuh wajahnya, dingin seolah mengalir meresap ke dalam pori-pori, terbawa aliran darah hingga ke seluruh tubuh, meredamkan segumpal darah yang tadi terasa resah.

Beberapa waktu kemudian, tak ada yang terdengar selain suara puja puji lirih pasangan suami istri itu kepada Penguasa Alam.


Ki Kertanadi memperhatikan Wira Saksana yang sedang berlatih dari kejauhan. Hatinya seolah menimbang-nimbang, kalimat apa yang akan dikatakan kepada pemuda itu terkait Lembayung.
Wira Saksana sendiri merasa bahwa sejak beberapa saat yang lalu, mata gurunya tak lepas dari apapun yang dia lakukan. Lelaki muda itu menghentikan gerakan seolah merasa risih atau tidak percaya diri. Yang dilakukan selanjutnya adalah mendekati Ki Kertanadi dengan kepala membenak kesalahan yang dilakukan kemarin, kemarinnya lagi dan kemarinnya lagi. Langkah mantap pemuda itu seakan menunjukkan bahwa dia bersedia diberi hukuman apapun atas kesalahan yang selalu diulang-ulang itu.

“Ki Ageng,” Wira Saksana menundukkan kepala setelah sampai di hadapan lelaki yang dihormati itu, menjeda kalimatnya untuk beberapa saat.

“Saya siap diberi hukuman atas kesalahan saya, ” lanjut pemuda itu.

Bagai mendapati pintu yang terbuka lebar, Ki Kertanadi tersenyum. Lelaki itu mengajak Wira Saksana menyingkir dari arena latihan. Mereka duduk bersila berhadapan kemudian, di bangunan utama pedepokan, joglo tanpa dinding yang menghadap tanah lapang dimana para murid berlatih.

“Sebenarnya apa yang membuatmu tak bisa menolak permintaan Lembayung, Wira Saksana?” Ki Kertanadi sampai pada inti pertanyaan setelah beberapa saat berbasa-basi.

“Saya…, hanya tidak mampu menolak, Ki Ageng. Mohon maaf atas kelancangan saya.” Wira Saksana menunduk takjim di hadapan gurunya.

“Adakah perasaan khusus yang kau rasakan untuk Lembayung?” Wira Saksana bagai terkena godam mendengar pertanyaan gurunya. Andai dia tidak menunduk, Ki Kertanadi pastilah menangkap basah wajahnya yang memerah.

“Saya…,” Katanya terbata sambil berusaha meredam dengup jantung. Wira Saksana seakan percaya gurunya bisa mendengar dentam di dadanya jika tidak dia jinakkan.

Ki Kertanadi sendiri merasakan jantungnya berdenyar. Hatinya merapal doa. Dia berharap jawaban Wira Saksana bisa menyelesaikan masalah Lembayung. Jika Wira Saksana menyukai Lembayung, saat ini juga dia siap menikahkan mereka. Lelaki yang dipanggil guru oleh hampir semua pemuda di desa itu tahu, hati anaknya telah terpaut dengan pemuda di depannya, bahkan tanpa dia perlu menanyai Lembayung.

“… tidak berani, Ki Ageng.” Jawaban Wira saksana seolah menghempaskan harapan yang telah melambung terlalu tinggi. Ki Kertanadi menghela nafas berat. Perkara ini tak semudah yang dia kira. Wira Saksana adalah pemuda desa yang dibesarkan dengan pemahaman seorang laki-laki harus berkedudukan sosial lebih tinggi daripada istrinya. Statusnya sebagai anak kepala desa tak akan cukup mampu memberinya kepercayaan diri untuk menyukai gadis keturunan kerajaan Majapahit, apalagi menikahinya. Meski mereka menginjak tanah yang sama, hidup dari air yang sama. Berbeda dengan Wanakusuma, dia akan lebih leluasa memilih wanita pendamping, dari kalangan apapun.

“Tidak mengapa kalau kau jujur padaku, Wira Saksana. Aku akan bahagia menyerahkan anak gadisku untuk kau peristri.” Kalimat Ki Kertanadi justru melumpuhkan Wira Saksana. Wajahnya samakin menunduk dalam dengan dagu hampir menyentuh dada. Mungkin dalam hatinya berkecamuk, gurunya tanpa tedeng aling-aling menghakiminya. Mengolok-oloknya. Membuatnya merasa semakin tak pantas memelihara perasaan kepada gadis kepala batunya, yang sayangnya adalah anak dari laki-laki paling disegani di desa.

Ki Kertanadi sendiri seakan terkejut dengan kalimat yang meluncur begitu saja dari mulutnya. Bagaimana bisa dia seterus terang itu. Kalimatnya barusan bisa jadi akan membuat pemuda di hadapannya semakin sungkan dan menjauh. Pandangannya teralih ke arah murid-muridnya yang sedang berlatih. Sebentar lagi, bangunan utama tempatnya berbincang dengan Wira Saksana akan penuh oleh mereka. Waktu telah memasuki saat istirahat. Ki Kertanadi kembali mengalihkan pandangan, pembicaraan ini harus diakhiri segera. Kepalang basah, akhirnya Ki Kertanadi melanjutkan perkataan, “bagaimana kalau aku menikahkanmu dengan Lembayung sebagai hukuman?”

“Maafkan saya, jika telah membuat Ki Ageng murka. Sungguh saya tidak memiliki perasaan apapun kepada Rara Niken.” Wira Saksana mengatakan kalimat itu dengan begitu lancar, meskipun entah hatinya teriris menjadi berapa bagian. Seharusnya sejak awal dia tidak membiarkan tunas itu berkecambah. Seharusnya dia sadar diri. Apa yang bisa dia lakukan sekarang selain memangkas perasaan yang telah tumbuh subur itu lalu mencabut paksa dari hatinya.

“Wira Saksana, aku tidak marah sama sekali. Justru aku bersyukur kalau bisa menyerahkan Lembayung untuk kau persunting. ” Ki Kertanadi berusaha meyakinkan Wira Saksana. Entah bagaimana menjelaskan pada pemuda itu bahwa dia sunggug-sungguh dengan kalimatnya.

“Sungguh, Nak! Aku…,”

“Maaf, ijinkan saya untuk undur diri, Ki Ageng,” Wira Saksana memotong kalimat gurunya. Dia menunggu kelegaan Ki Kertanadi untuk membiarkannya pergi. Mengakhiri perbincangan yang tak mengenakkan ini. Setelah mendapat ijin yang dirasanya diberikan dengan berat hati, Wira Saksana bangkit. Sekejab kemudian dia telah membaur dengan murid-murid lain yang mulai menghentikan aktifitas mereka.

Ki Kertanadi memandang pemuda itu dengan hati yang gundah. Dirinya sempat melihat wajah merah Wira Saksana, entah karena marah atau malu. Terbersit sesal dalam hatinya telah membuat pemuda itu tertekan sedemikian rupa. Dia telah mengatakan kepada Lembayung kalau semua tidak akan semudah yang dibayangkan. Senyatanya, ini memang sulit. Sangat sulit. Hati seorang ayah yang ingin anaknya bahagia yang memaksanya.

Bapak dua anak itu mendesah. Satu hari berkurang dari waktu yang dijanjikan Ki Ageng Pemanahan. Dalam beberapa hari ke depan, lelaki berjuluk Ki Ageng Giring itu harus meninggalkan desa untuk memenuhi undangan kerabat. Urusan pernikahan Lembayung harus menunggu beberapa saat. Dia berdoa, semoga urusan ini akan mendapat titik terang sekembalinya dari kotaraja.

bersambung ke bagian #5

Penulis : blogmansageka

Tulisan Lainnya

Oleh : blogmansageka

Lima Negara Terkaya Di Dunia

Oleh : blogmansageka

Rara Lembayung. #2

Oleh : blogmansageka

Yuk Belajar Tentang Pancasila

Oleh : blogmansageka

Menjemput Impian

KONTAK KAMI
(0274) 391377

Jl. Sunan Ampel 68 Trimulyo II Kepek Wonosari Gunungkidul Yogyakarta 55813

man1gunungkidul@gmail.com