Di sebuah madrasah yang tenang di lereng bukit Gunungkidul, ada seorang siswi bernama Sasa. Cantik, ceria, dan sangat fashionable. Hobinya? Bersolek. Sejak jam tujuh pagi, sebelum bel masuk, dia sudah duduk manis di bangku paling belakang kelas, lengkap dengan cermin mini, make-up pouch, dan koleksi lipstik warna-warni yang bisa bikin toko kosmetik minder.
Bedak tebal, alis setajam clurit, dan lipstik merah jadi penampilan khasnya. “Cantik itu ibadah, Miss,” katanya santai saat Bu Nafi’ah, wali kelasnya, menegur. “Tapi ini madrasah, bukan panggung catwalk,” jawab Bu Nafi’ah, sambil memandangi samar glitter eyeshadow Sasa yang kelap-kelip kayak bintang redup di langit.
Setiap hari, nasihat Bu Nafi’ah selalu serupa: “Sasa, belajarlah tampil sederhana. Kamu tidak ingin orang salah menilai hanya dari dandananmu, kan?” Tapi Sasa punya jawaban siap saji, “Yang penting hati saya tetap bersih, Bu. Luarannya hanya ekspresi seni.”
Suatu hari, madrasah mengadakan lomba pidato bertema “Perempuan Berakhlak Mulia”. Bu Nafi’ah, dengan wajah penuh harap dan sedikit strategi tersembunyi, mendaftarkan Sasa diam-diam. “Aku? Pidato? Tentang akhlak?” Sasa nyaris menyemprot setting spray ke wajah Bu Nafi’ah saking kagetnya.
“Justru itu. Kamu punya bakat bicara, tampil pede. Cuma tinggal… dikurangi sedikit polesannya,” ujar Bu Nafi’ah, dengan senyum licik penuh kasih.
Setengah hati, Sasa menerima tantangan itu. Tapi ada satu syarat dari Bu Nafi’ah: tampil bare face. “Tanpa make-up?! Bu, ini sama saja seperti disuruh tampil telanjang!” protes Sasa dramatis, seraya mencengkeram botol foundation-nya erat-erat.
Akhirnya hari lomba tiba. Sasa maju ke podium. Wajahnya polos. Tanpa bedak. Tanpa lipstik. Tapi… suara dan isi pidatonya membuat semua hadirin menahan napas. Sasa berbicara lugas, penuh percaya diri, dan—ajaibnya—tanpa perlu eyeliner pun ia memikat perhatian. “Perempuan itu bukan dilihat dari kilap lipstiknya, tapi dari cemerlang pikirannya.”
Tepuk tangan membahana. Bahkan kepala madrasah sempat berbisik, “Itu tadi anak kelas berapa? Pandai sekali pidatonya.”
Sasa turun dari panggung, matanya berkaca-kaca. “Bu, ternyata pede tanpa dandan itu… bisa juga ya,” ujarnya.
Bu Nafi’ah tersenyum dan mengangguk. “Ibu bangga padamu.”
Tapi sebelum Bu Nafi’ah sempat melangkah pergi, Sasa membisik, “Tapi besok saya dandan lagi, ya Bu. Yang penting hatinya tetap glowing kan?”