Kabupaten Gunungkidul yang dikenal dengan sebutan Pegunungan Seribu merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berada di ujung timur. Wilayah yang beribukota di Wonosari ini memiliki luas 1.485,36 km2 atau setara dengan 46,63% dari total luas wilayah DIY. Sebagai daerah yang memiliki wilayah paling luas diantara kabupaten lainnya, Gunungkidul menyimpan beragam potensi sumber daya dan kekayaan alam yang menjadi penopang kehidupan masyarakatnya. Selain memiliki pemandangan alam nan elok, pantai nan cantik, sungai dan gua yang menantang adrenalin, Gunungkidul juga menyimpan kekayaan seni dan budaya sebagai karya adiluhung bangsa. Beragam seni tradisional baik musik, tari, lagu maupun bentuk seni lainnya turut memperkaya wilayah yang bagian utara-nya berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah ini. Salah satu budaya yang cukup unik, menarik sekaligus menjadi ikon wilayah ini dan terus dilestarikan oleh masyarakat di Gunungkidul adalah tradisi Rasulan.
Rasulan (bersih desa) merupakan salah satu tradisi perayaan pasca panen yang diselenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur atas panen hasilbumi yang melimpah sekaligus untuk merti atau bersih desa, dengan maksud mengharap keselamatan dan menolak segala mara bahaya (tolak bala) terhadap seluruh warga. Rasulan diselenggarakan hampir di seluruh desa yang ada di wilayah Gunungkidul dengan waktu yang sudah disepakati oleh pemuka desa dan tokoh masyarakat/ketua adat setempat. Waktu pelaksanaan rasulan biasanya setelah masa panen atau menjelang musim kemarau. Tak heran di bulan-bulan Juli sampai dengan September menjadi waktu yang tepat dilaksanakannya kegiatan rasulan.
Rangkaian kegiatan rasulan biasanya diawali dengan kegiatan kerja bakti atau gotong royong membersihkan dan memperindah desa, beberapa perlombaan juga diselenggarakan untuk menyemarakkan acara seperti lomba sepak bola, voli, maupun jenis olah raga lainnya. Puncak kegiatan yang menjadi inti rasulan sebenarnya adalah acara kenduri yang diawali dengan pengumpulan hasil bumi dari tiap-tiap warga yang kemudian disusun dalam gunungan, warga desa juga memasak sajian khas ingkung ayam kampung, nasi putih, lauk pauk dan makanan lainnya. Sajian tadi kemudian diarak diiringi pawai warga desa yang mengenakan baju adat dan kostum-kostum lain yang menjadi sarana pengembangan ide kreatif pemuda desa, seperti memakai caping dan membawa cangkul yang melambangkan profesi petani, prajurit, drum band, seragam klub olahraga setempat, hingga kostum tokoh-tokoh pahlawan dan legenda ke balai desa atau balai padukuhan. Sesampainya di balai desa/balai padukuhan, tetua adat setempat kemudian membacakan riwayat atau sejarah desanya, melantunkan doa yang isinya adalah rasa syukur telah diberi hasil panen yang melimpah, mengharap kelancaran proses bertani di musim yang akan datang, dan mengharap keselamatan terhadap seluruh warga desa. Rangkaian kegiatan rasulan biasanya ditutup dengan pertunjukan seni hasil kreasi masyarakat setempat ataupun mendatangkan dari daerah luar. Pertunjukan seni yang biasa ditampilkan adalah jathilan, reog, kethoprak maupun seni pertunjukan lainnya. Terkadang menampilkan pertunjukan wayang semalam suntuk sebagai penutup rangkaian kegiatan rasulan.
Bagi masyarakat awam tradisi rasulan yang diselenggarakan setiap tahun sekali mungkin hanya dianggap sebagai rutinitas yang bersifat umum dan pasti. Hal ini wajar mengingat tradisi ini memang merupakan agenda tahunan yang bersifat wajib sebab ada anggapan bahwa wilayah (desa) yang meninggalkan tradisi ini nantinya akan memperoleh bencana baik yang menimpa masyarakat setempat atau wilayah tempat tinggalnya. Masyarakat juga menganggap bahwa tradisi rasulan sebagai bentuk memelihara (nguri-uri) budaya yang sudah turun temurun dilaksanakan. Namun apabila dikaji lebih mendalam sejatinya terdapat 3 makna dibalik tradisi rasulan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal di Gunungkidul.
Pertama adalah adanya makna atau nilai religius dari tradisi rasulan. Sebagaimana arti yang terdapat dalam wikipedia, bahwa rasulan merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME atas segala karunia yang diberikan. Kata syukur itu sendiri berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar “syakara” yang berarti terima kasih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia syukur berarti rasa terima kasih kepada Allah SWT, untunglah (menyatakan perasaan lega, senang dan sebagainya). Dalam Alqur’an yang menjadi pedoman bagi umat muslim dinyatakan bahwa manusia diperintahkan untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Seperti halnya yang terdapat dalam surah Lukman ayat 31 yang artinya “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah SWT, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.
Imam Ghazali menjelaskan bahwa syukur tersusun atas 3 perkara, yaitu : (1) Ilmu, yaitu pengetahuan tentang nikmat dan pemberiannya,serta meyakini bahwa semua nikmat berasal dari-Nya, sedangkan makhluk yang lain hanyalah sebagai perantaranya saja. Wujud nyata dari hal ini adalah adanya gerakan lidah/lisan dalam memuji-Nya dan tidak ada keinginan untuk memuji yang lain, (2) Hal/kondisi spiritual, yaitu karena pengetahuan dan keyakinan tadi melahirkan jiwa tenteram membuatnya senang dan mencintai yang memberikan nikmat padanya dalam betuk kepatuhan dan ketundukan. Wujud konkrit dari perkara di atas adalah adanya kepatuhan dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, (3) Amal perbuatan, yang berkaitan dengan hati, lisan dan perbuatan. Makna dari ungkapan tersebut adalah adanya keinginan untuk selalu berbuat kebaikan. Dalam konteks budaya rasulan nyatalah bahwa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Gunungkidul tersebut menunjukkan nilai religiusme seseorang terhadap pencipta-Nya. Sebab orang yang bersyukur tak hanya sekedar melafalkan dengan lisan atau dalam bentuk peribadatan manusia (hablun min allah) namun juga dalam bentuk perbuatan atau tindakan nyata secara ikhlas tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Tindakan yang dimaksud adalah dengan diselenggarakannya tradisi rasulan dimana dalam kegiatan tersebut masyarakat mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, namun mereka tak pernah mempermasalahkannya. Mereka benar-benar tulus dan ikhas dalam membiayai tradisi rasulan yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Makna kedua adalah adanya nilai humanisme dalam pelaksanaan tradisi rasulan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, humanisme berasal dari kata humanis yang artinya orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan atau pengabdi kepentingan sesama umat manusia. Sedangkan humanisme adalah aliran yg bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yg lebih baik. Beberapa ciri humanis diantaranya : (1) Menekankan pada aktualisasi diri individu (manusia sebagai sosok individu yang bisa mengekplorasi dirinya, (2) Melibatkan peran aspek kognitif dan afektif, (3) Mengedepankan pengetahuan dan pemahaman, (4) Mengedepankan bentuk perilaku diri sendiri, (5) Menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia.
Manusia sejatinya merupakan homo homini socius atau makhluk yang membutuhkan bantuan orang lain dalam kehidupannya. Adanya sifat ketergantungan dengan manusia lainnya dapat terlihat dari adanya komunikasi dan interaksi yang terjalin di masyarakat. Saat tradisi rasulan inilah komunikasi dan interaksi masyarakat terjalin nyata, sebab pelaksanaan rasulan tidak akan berhasil tanpa kerja sama dan kerja nyata dari masyarakat itu sendiri. Interaksi antar masyarakat mengalir begitu saja saat kegiatan sebelum rasulan yakni pada saat membersihkan desa, saat kenduri yang merupakan puncak acara maupun pada saat penutupan. Interaksi yang terjalin di masyarakat tanpa memandang status sosial dan status ekonomi bahkan mengabaikan perbedaan keyakinan di antara mereka. Mereka saling bergotong royong, bahu membahu, bekerja sama dalam bingkai kebersamaan demi terlaksananya bersih desa yag merupakan tradisi turun temurun, disinilah munculnya nilai humanis masyarakat. Nilai humanis yang tinggi di masyarakat tak hanya dibutuhkan saat rasulan saja namun diperlukan sepanjang masa sebagai modal pembangunan desa setempat.
Makna terakhir yang muncul saat tradisi rasulan adalah solidaritas dalam bentuk sedekah. Kata “sedekah” berasal dari bahasa Arab shadaqah yang diambil dari kata sidq (sidiq) yang berarti kebenaran. Sedangkan sedekah menurut wikipedia diartikan memberi secara sukarela harta atau bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Aturan dalam sedekah lebih bebas dibanding zakat atau infak. Sedekah bukanlah suatu kewajiban, tetapi adalah perbuatan baik. Sedekah menjadi salah satu ibadah yang bernilai pahala besar dan tercatat dalam Al-Qur’an. Sedekah juga menjadi bagian untuk berderma kepada sesama terlebih bagi orang yang membutuhkan. Sehingga secara esensi sedekah mencakup hubungan vertikal dan horizontal karena berhubungan dengan muamalah ma’allah dan juga muamalah ma’annas. Sehubungan dengan amalan ini, beberapa ayat Al-Qur’an mengagungkan keutamaan sedekah. Sedekah disebutkan menjadi amalan yang diganjar pahala berlipat ganda, serta menjadi salah satu cara untuk bersyukur atas rezeki yang diberikan Allah SWT. Di antara ayat yang menjelaskan pahala sedekah adalah Al-Qur’an surat Al Hadid ayat 18, Allah SWT berfirman, yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka; dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.”
Apabila dikorelasikan dengan pelaksanaan tradisi rasulan jelaslah bahwa kegiatan ini merupakan bukti nyata adanya sedekah kepada masyarakat dalam konteks di atas. Sudah menjadi hal yang umum bagi masyarakat desa Gunungkidul untuk memasak aneka makanan olahan yang kemudian disajikan dan diberikan kepada orang tua atau kerabat (munjung). Selain sebagai bentuk penghormatan menjamu tamu saat rasulan diyakini dapat mendatangkan rejeki dalam bentuk yang lain kepada tuan rumah. Sebagian besar warga Gunungkidul bahkan menganggap tradisi rasulan ini sebagai lebaran ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulan juga sering kali menjadi alasan utama untuk kerabat/sanak keluarga yang merantau atau berdomisili di luar daerah untuk berbondong-bondong kembali ke kampung halamannya, hal ini dinilai sebagai usaha mempererat hubungan kekeluargaan dan mengingatkan kembali akar budaya tanah kelahiran mereka. Selama kegiatan Rasulan, semua rumah warga akan memasak beragam hidangan istimewa untuk menjamu tamu/kerabat yang datang. Inilah makna sedekah yang sebenarnya dalam tradisi rasulan sebagai wujud hubungan horisonal antar manusia (hablun min annas).
Begitu dalam dan mulianya nilai yang muncul di balik tradisi rasulan yang diselenggrakan masyarakat Gunungkidul sebagai bentuk pelestarian adat/tradisi lokal, sehingga diperlukan upaya-upaya oleh pihak terkait agar budaya tersebut tidak luntur. Sebab tradisi rasulan tak hanya menjaga hubungan secara vertikal, yakni hubungan manusia dengan pencipta-Nya namun juga menjaga hubungan secara horisontal yaitu keselaran hubungan antar manusia. Masyarakat harus mampu menjaga dan terus berusaha untuk melestarikan budaya ini agar generasi berikutnya dapat merasakan dan melaksanakan kegiatan ini di masa mendatang. Jika perlu instansi terkait dapat mengemas tradisi rasulan tersebut dalam bentuk wisata budaya, mengingat Gunungkidul saat ini menjadi salah satu destinasi wisata yang cukup menarik perhatian wisatawan baik lokal mapun dari daerah lain. Dengan begitu tidak menutup kemungkinan Gunungkidul akan menjelma menjadi “Bali kedua”di masa yang akan datang.
—
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan terjemahannya. 2008. Departemen Agama RI. Bandung: Diponegoro.
Karyono, T. H., 2010. Green Architecture. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Profil Pariwisata Gunungkidul. 2022. Dinas Pariwisata. Gunungkidul
^ “Wisata Unik Tradisi Rasulan Masyarakat Gunungkidul”. iNews.ID. 2018-02-11. Diakses tanggal 2023-09–20.
^ Lompat ke:a b ivan (2016-08-04). “Rasulan Mempererat Hubungan Kepada Tuhan dan Manusia”. KRJogja. Diakses tanggal 2023-09–20.
^ infogunungkidul (2017-07-13). “Tiga Makna Tradisi Rasulan”. infogunungkidul. Diakses tanggal 2023-09-21.
^ Lompat ke:a b c d “Pesta Rakyat Itu Bernama Rasulan | JalanJogja.Com – Destinasi Wisata Yogyakarta” (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-19. Diakses tanggal 2023-09–20.
^ Lompat ke:a b Arwan. “Rasulan, Pesta Rakyat Paling Seru di Gunungkidul”. detikcom. Diakses tanggal 2023-09–21.
—
Biodata Penulis :
Penulis bernama lengkap Umi Fathonah Rubiyatin, mengajar mata pelajaran Ekonomi di MAN 1 Gunungkidul sejak tahun 2009. Lahir di Gunungkidul 21 Februari 1973, saat ini bertempat tinggal di Karangmojo 1 RT 05/07 Karangmojo Gunungkidul. Tulisannya pernah menjadi juara 1 dalam lomba menulis cerpen dalam rangka Hari Guru tahun 2019. Penulis bisa dihubungi melalui fathonahumi26@gmail.com atau melalui WA 0823 2414 2659