Selasa, 26-08-2025
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi

Pecahnya Piala Itu : Retakan Yang Mengajarkan

Diterbitkan : Selasa, 12 Agustus 2025

Oleh : Tuti Herawati, S.Pd.,
Guru Bimbingan Konseling MAN 1 Gunungkidul
-=-=-=-

Di sudut ruang tamu, piala itu selalu berdiri angkuh. Kilau emasnya tak pernah pudar meski debu kadang singgah. Bagiku, ia bukan sekadar benda. Ia adalah penanda perjuangan panjang, malam-malam belajar, dan doa yang tak pernah putus. Setiap kali mataku lelah, aku menatapnya seperti menatap sebuah janji, bahwa kerja keras takkan sia-sia.

Siang itu, hujan turun seperti tirai tipis. Aku baru saja merapikan meja ketika suara “PRANG!” memecah keheningan. Aku berlari, dan di lantai, piala itu terbaring tak utuh lagi. Kakinya patah, bagian atasnya menggelinding hingga berhenti di bawah kursi. Di sampingnya, adikku berdiri pucat, bibirnya bergetar.

“M-maaf, Kak… aku cuma mau lihat dari dekat,” ucapnya, nyaris seperti bisikan.

Ada dentuman di dadaku. Antara amarah dan sedih. Tanganku gemetar memunguti serpihan. Retakan-retakan tajam itu menusuk mataku lebih dari yang kusangka. Aku ingin marah, ingin memintanya pergi, tapi tatapan matanya, campuran rasa takut dan sesal menahan lidahku.

Kami duduk berdua di lantai. Ia menunduk, sementara aku mengusap serpihan itu dengan kain. “Kak… aku cuma pengin tahu rasanya pegang piala ini. Kakak kan sering cerita,” katanya pelan. Saat itu aku tersadar: selama ini aku menjaga piala itu seperti rahasia yang tak boleh disentuh, seolah nilainya akan berkurang jika berada di tangan orang lain.

Hujan di luar makin deras. Entah kenapa, aku mulai melihat piala itu berbeda. Retakannya bukan hanya bekas jatuh. Ia seperti cermin yang memantulkan kelemahanku. Sebuah rasa bangga yang terlalu tinggi dan rasa takut kehilangan yang berlebihan.

Akhirnya, aku ambil lem dan bersama-sama kami menyatukan bagian-bagiannya. Tentu, bekas retak itu tak bisa hilang. Tapi saat piala itu kembali berdiri di sudutnya, aku merasa ada sesuatu yang justru bertambah indah. Ia kini menyimpan cerita tentang memaafkan, tentang berbagi, dan tentang rapuh yang tak lagi kutakuti.

Kadang, kita baru benar-benar belajar saat sesuatu pecah di hadapan kita. Bukan untuk kembali seperti semula, tapi untuk menjadi bentuk yang lebih bijaksana.

KONTAK KAMI
(0274) 391377

Jl. Sunan Ampel 68 Trimulyo II Kepek Wonosari Gunungkidul Yogyakarta 55813

man1gunungkidul@gmail.com