Sabtu, 10-05-2025
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi

Rara Lembayung. #2

Diterbitkan : Senin, 28 April 2025

Cerita Bersambung Oleh : Rita Indriana Rahmawati

-=-=-=-=-

Seruan terdengar bersahut-sahutan di atas bukit gersang.

“Hiyaat…”

“Ha…”

Seorang gadis tampak mengadu kekuatan. Lawannya adalah seorang pemuda yang tidak sedikitpun mengendurkan perlawanan. Debu mengepul di sekeliling mereka. Kesiur angin menerbangkan, mendaratkannya di semak-semak yang mulai mengering di sekitar arena pertempuran.

Keringat tampak melengketkan anak rambut di dahi. Wajah gadis itu mengeras saat dia terdesak. Tanpa diduga, tubuhnya meliuk anggun sambil tangannya yang menggenggam senjata menangkis sekaligus, membalikkan serangan.

“HIYAAAAT…” teriaknya sekuat tenaga, bersiap memungkasi pertempuran.

Tiba-tiba gadis itu tersentak. Pegangan tangannya terlepas. Sesuatu dengan kecepatan menakjubkan mengenai senjatanya. Lawannya pun mengalami hal sama. Dua kerikil jatuh mengiringi kelotak dua pedang kayu yang membentur tanah keras.

Gadis itu langsung tegak seketika. Kepalanya menunduk. Jantungnya seolah ingin melompat dari rongga dada. Diiringi leleran keringat dari dahi. Pemuda di hadapannya melakukan hal serupa. Mereka tahu, hanya satu orang yang bisa menjatuhkan pedang kayu di tangan hanya dengan jentikan sebuah kerikil. Dengan hati berdebar keduanya menunggu.

“Sudah puas kalian bermain-main?” suara tenang yang bertenaga menyapa telinga.

Yang ditanya diam seribu bahasa. Angin kembali berhembus membawa udara kering. Sedikit meredakan panas yang melelehkan keringat. Gadis itu mengatur nafas. Detak di dadanya belum lagi normal, ketika pemilik suara kembali berkata.

“Wira Saksana! Sudah berapa kali aku mengingatkanmu. Masih juga kau ladeni gadis kepala batu ini.” Kalimat tajam mengarah pada sang pemuda. Tanpa nada tinggipun, kalimat itu punya kekuatan membungkam lawan.

Pemuda yang diajak bicara tak berani mengangkat muka. Menunduk takjim. Hanya suara burung pipit yang terbang membawa ilalang kering menghias bukit itu. Diiringi debaran jantung sepasang muda mudi yang hanya dapat didengar dengan gendang mereka sendiri.

Ki Kertanadi, lelaki yang bersuara itu, berjalan pelan. Mondar mandir di hadapan anak gadis dan pemuda di depannya. Kedua tangan saling mengait di belakang tubuh tegapnya.

“Rama…” akhirnya gadis yang dipanggil kepala batu oleh ramanya itu bersuara pelan.

“Kau masih mau membelanya?” Ki Kertanadi berkata sambil sedikit merendahkan kepala. Memandang gadis di depannya yang kembali menunduk.

Pemuda yang dipanggil  Wira Saksana akhirnya mengangkat suara. Meminta maaf, masih dengan kepala menunduk. Jelas sekali pemuda itu tak berani sekedar mencari pembenaran atas apa yang dikatakan lelaki di depannya. Apalagi beradu argumen.

Berbeda dengan gadis di sebelahnya. Lawan tandingnya siang itu memcoba membela diri. Setengah merajuk, setengah kesal, dia bertahan dengan argumen yang selalu diutarakan. Bahwa ramanya tidak adil.

“Niken Purwosari!” sentak Ki Kertanadi dengan sedikit nada tinggi. Burung pipit yang sempat bertenger di semak kering terbang seketika. Hening kembali menguasai bukit.

Jika memanggil dengan nama asli, maka bisa dipastikan bahwa rama benar-benar marah. Wajah merajuk gadis itu seketika sirna. Digantikan dengan sedikit ketakutan yang terpancar dari mata. Dia kembali menunduk. Menunggu kalimat rama yang sedang murka.

Menyadari emosinya tak terkendali, Ki Kertanadi menarik nafas panjang. Mencoba menguasai hati. Sambil berkali mengulangi apa yang di lakukan, lelaki itu memejamkan mata agak lama. Mulutnya merapal suatu kata tanpa bersuara. Berulang kali. Memohon ampun atas nafsu yang menguasainya.

“Lembayung, desa ini jauh dari hingar bingar kekacauan. Kau tak perlu mengangkat pedang hanya untuk hidup dengan damai di sini.” Katanya kemudian. Melunak.

Ki Kertanadi sudah berulangkali menjelaskan, bahwa para lelaki perlu belajar ilmu kanuragan karena akan berguna saat mereka ingin jadi prajurit di kota raja atau sekedar melindungi keluarga. Hal yang selalu disanggah oleh anak gadisnya, kenapa perempuan harus berbeda. Gadisnya itu mengajukan argumen, bagaimana jika seorang wanita juga harus dituntut keadaan untuk melindungi seseorang yang disayangi.

“Ini salah saya Ki Ageng. Tak seharusnya saya meladeni Rara Purwosari.” Wira Saksana angkat suara.

“Sekarang kalian saling membela?” tanya Ki Kertanadi. Mendesah putus asa.

Laki-laki yang dipanggil Ki Ageng itu tak melanjutkan interogasi. Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, lelaki yang mulai memasuki usia senja itu balik badan berjalan menuruni bukit tanpa kata.

Tinggallah Niken Purwosari dan Wira Saksana. Menghembuskan nafas. Memelorotkan bahu yang tegang. Lalu mengambil pedang kayu masing-masing.

“Bukankah ini tidak adil, Kakang,” kata gadis itu kemudian. Mengulangi kembali kalimat yang setiap saat dijadikan alasan.

Gadis itu bersungut bahwa dia bahkan tak diijinkan memiliki pedang asli seperti yang lain. Lalu dengan sedikit kasar merebut pedang yang dipegang Wira Saksana. Satu pedang kayu dia selipkan pinggangnya. Satu lagi dia pegang di tangan kanan, diayunkan pada semak-semak kering. Berjalan cepat kemudian. Mengikuti Ki  Kertanadi yang telah sampai di kaki bukit. Rambut panjangnya yang diikat ekor kuda mengayun lembut seiring langkah kakinya.

Wira Saksana menghela nafas, mengelap keringat di kening. Terlihat bingung harus mengatakan apa. Berdiri sambil berkacak pinggang putus asa, mengeryit memandang punggung gadis yang menuruni bukit dengan sedikit tergesa.

“Lembayung, tunggu!” pemuda itu akhirnya hanya bisa mengekor. Yang dipanggil jangankan menoleh, menjawab pun tidak.

Di bawah bukit terdapat sebuah sungai. Sesiang ini penduduk desa sudah tak satupun yang berada di sana. Ketika matahari mulai condong ke barat nanti, mereka akan kembali memenuhi sepanjang alirannya untuk segala keperluan.

Gadis yang tengah berada di puncak keremajaannya itu, telah sampai di sana. Menyusuri sungai agak ke hulu. Sampai di bawah pohon beringin yang usianya sudah ratusan tahun dia berjongkok. Di bawah pohon itu ada mata air yang tak pernah kering. Lembayung meletakkan pedang kayu di sampingnya, membasuh tangan serta muka. Kemudian menangkupkan kedua telapak tangan dan mengambil air yang bening untuk di sesap. Dua kali gadis itu melakukannya. Wajahnya tampak lebih segar kini.

Ketika terdengar suara langkah Wira Saksana di belakangya, bergegas Lembayung berdiri. Dia berjalan kembali menyusuri sungai hingga berpapasan dengan pemuda itu. Dia bahkan tak merasa perlu menoleh sedikitpun.

Sampailah Lembayung ke bagian sungai  yang dangkal, bagian yang biasa dilalui penduduk. Mata air yang airnya baru saja dia nikmati memang berada di seberang sungai. Penduduk desa harus menyebarang untuk dapat mengambil airnya. Hati-hati gadis menapakkan kaki pada batu-batu yang menonjol. Tidak merasa perlu untuk memalingkan muka.

“Lembayung! Benar kata Ki Ageng. Kau memang berkepala batu.” Wira Saksana berseru kesal.

Pemuda itu menyerah. Dia tak lagi mengejar. Justru naik ke atas batu besar di pinggir sungai, kemudian duduk di sana. Suara gemericik air memanjakan telinga.

Lembayung sampai di seberang. Dia masih harus menyusuri sungai beberapa puluh meter lagi untuk menemukan jalan setapak yang menanjak menuju perdesaan. Dalam perjalanannya, gadis itu sampai pada lempengan batu yang berlubang di permukaan. Setelah memastikan Wira Saksana tak lagi mengejar, Lembayung berhenti. Seperti tiap kali tiba di sana, Lembayung menghitung lubang-lubang di sana. Ratusan, tak pernah sama berapa kalipun dia mengulang.

Gadis itu kembali berjalan. Wajahnya sudah terlihat riang saat mendaki. Lembayung tahu beberapa hari ini rama gusar. Resah untuk alasan yang tak dimengertinya. Jadi dia bisa memahami kemarahan rama padanya adalah sala satu pelampiasan. Lembayung berjalan pelan, mencoba mendengarkan suara langkah Wira Saksana. Hingga dia sampai di puncak tak didapati pemuda itu di belakangnya. Gadis itu kembali mendengus kesal.

Wira Saksana, yang masih mengamati gadis itu dari atas batu, terlihat menerawang. Gadis berjuluk Lembayung itu tahu dengan pasti kelemahannya. Maka seberapa seringpun Ki Kertanadi memergoki mereka, keduanya tetap berlatih. Memilih tempat baru. Wira Saksana tak menduga, mereka akan ditemukan secepat itu.

Dulu ketika mereka masih kecil, saat Wira Saksana berlatih dengan Wanakusuma, anak pertama Ki Kertanadi, kakak lelaki Lembayung, gadis kecil itu berdiri di bawah pohon mengamati tanpa berkedip.

“Aku ingin ikut berlatih, Kakang!” katanya sambil berkacak pinggang.

Wanakusuma yang terpecah dari konsentrasinya dengan mudah terkunci oleh lawan. Terbanting badannya tengkurap ke tanah, dengan tangan terpelintir di belakang badan. Seketika lutut Wira Saksana sudah berada di atas punggung.

“Kau membuatku kalah, Lembayung!” ucap Wanakusuma kemudian. Kesal. Dia berdiri membersihkan tanah yang menempel di pakaian.

“Kakang kalah karena Kakang Wira Saksana lebih pandai bertarung. Kenapa menyalahkanku?” seru Lembayung galak. Mulutnya mengerucut kesal.

“Kalau Ki Ageng tahu, kau berada di tempat latihan, beliau akan menghukummu, Rara Purwosari.” Wira Saksana mengingatkan tenang. Seolah tak sedikitpun merasa tersanjung atas kalimat Lembayung.

Lembayung menghentakkan kaki ke tanah. Semakin kesal.

“Berapa kali aku bilang, Kakang Saksana, panggil aku Lembayung!” gadis kecil itu tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Wajahnya yang kuning langsat memerah. Entah karena panasnya mentari atau karena gemuruh di dadanya.

“Bagaimana bisa hamba yang hina ini memanggil seorang putri keturunan Majapahit dengan panggilan seperti itu. Atau mungkin sebaiknya hamba memanggil dengan, Tuan Putri Rara Ayu Niken Purwosari?” Wira Saksana  berkata dengan dengan serius. Sengaja menjura[1] saat dia mulai mengatakan Tuan Putri.

Dalam diri Lembayung mengalir darah biru. Kakek buyutnya adalah salah seorang keturunan Bhre Kertawijaya, raja Majapahit yang bergelar Prabu Brawijaya IV. Setelah menyelesaikan tugas kenegaraan kakek buyut Lembayung menjauh dari kehidupan keraton dan menetap di desa  bernama Giring . Lelaki ningrat itu selanjutnya dikenal dengan sebutan Ki Ageng Giring. Di desa yang dikelilingi bukit-bukit gersang, Ki Ageng Giring mendirikan sebuah padepokan kecil. Menyiarkan agama yang dianutnya diam-diam dari sang ayahanda, serta mengajari muridnya ilmu kanuragan.

Kini Ki Kertanadi,  rama Lembayung, mewarisi padepokan sekaligus gelar Ki Ageng Giring III. Hal yang berbeda dari buyut dan kakek gadis itu, adalah Ki Kertanadi tidak mengijinkan wanita belajar ilmu kanuragan. Wanita hanya diijinkan belajar ilmu agama. Wanita adalah rumah utama seorang anak, itulah yang selalu rama katakan.

Sementara Wira Saksana belum beranjak dari posisi menjura, Wanakusuma tertawa terpingkal-pingkal. Kakak Lembayung itu memegangi perut yang kaku saking kerasnya dia tertawa.

Lembayung menghentakkan lagi kakinya. Kesalnya tampak semakin menjadi. Gagal  membujuk kedua lelaki itu untuk mengajaknya berlatih, ditambah persekongkolan kedua bocah lelaki itu untuk menggodanya. Gadis kecil itu akhirnya berlari meninggalkan mereka.

“Lembayung, kakang lapar. Pulanglah dan siapkan makanan di rumah,” teriak Wanakusuma.

Lembayung berhenti berlari, membalikkan badan, berkacak pinggang, lalu mengarahkan kepalan tangan kanan ke arah Wanakusuma dan Wira Saksana. Keduanya semakin tertawa terpingkal-pingkal melihatnya.

Wira Saksana mengenang momen itu sambil tersenyum. Hari-hari setelahnya dia melunak, bersedia memanggil gadis itu dengan sebutan Lembayung. Menyempatkan waktunya untuk mengajari beberapa jurus yang dikuasai. Seiring berjalannya waktu, ada sesuatu yang lain dia rasa. Berkecambah dan mulai tumbuh. Pelan-pelan menghujamkan akar kuat-kuat dalam hatinya. Wira Saksana merasa jantungnya berdengup lebih kencang setiap beradu pedang kayu dengan Lembayung. Pesona gadis kepala batu itu selalu dapat menyihirnya. Kekeraskepalaannya. Rajukannya. Seperti musik yang mengalun indah di telinga. Maka dia tak pernah bisa menolak permintaan gadis itu. Kelemahan pertamanya menghadapi Lembayung.

Wira Saksana tidak tahu, adakah hal yang sama dirasakan gadis itu. Jangankan menanyakannya, menunjukkan sikap berbeda saja dia tak berani. Pemuda itu tak tahu, sebentar lagi takdir akan melontarkan mereka jauh dari kehidupan nan damai di desa ini. Tak ada lagi latihan, tak ada pedang kayu, tak ada lagi Lembayung, gadis kepala batunya.

~bersambung

Ket:

[1] menjura : membungkuk dengan menangkupkan kedua tangan (dengan maksud menghormat)

Penulis : blogmansageka

Tulisan Lainnya

Oleh : blogmansageka

Yuk Belajar Tentang Pancasila

Oleh : blogmansageka

Kicau Racau Bumi

Oleh : blogmansageka

Pasar Ilang Kumandange

KONTAK KAMI
(0274) 391377

Jl. Sunan Ampel 68 Trimulyo II Kepek Wonosari Gunungkidul Yogyakarta 55813

man1gunungkidul@gmail.com