Mentari pagi Idul Adha bersinar cerah, memantulkan sinarnya pada embun yang masih menempel di dedaunan. Udara segar yang bercampur aroma masakan khas hari raya mulai menyeruak. Di sudut desa, di sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu, Bima (10 tahun) terbangun dengan semangat. Bukan karena opor ayam atau rendang yang menunggunya, melainkan karena seekor kambing kecil yang sudah seminggu terakhir menjadi temannya bermain. Namanya Bleki.
Bleki adalah kambing hadiah dari Pak Tarjo, tetangga yang iba melihat Bima selalu bercerita tentang keinginan berkurban, sesuatu yang terasa mustahil bagi keluarga Bima yang hidup pas-pasan. Ibu Bima, seorang janda dengan dua anak, hanya bisa tersenyum getir setiap Bima bertanya kapan mereka bisa berkurban. Kurban tahun ini, bagi Bima, adalah Bleki.
Pagi itu, saat gema takbir sayup-sayup terdengar, Bima menghampiri Bleki di kandangnya. Ia mengelus lembut bulu hitamnya. “Bleki, nanti kamu akan dikurbankan. Semoga jadi berkah ya,” bisiknya, suaranya sedikit bergetar. Hatinya perih, tapi ia tahu, ini demi kebaikan. Kurban adalah perintah agama, dan ia ingin ibunya bangga.
Setelah shalat Idul Adha, suasana di masjid desa ramai. Hewan-hewan kurban sudah berjejer rapi. Bima menggandeng tangan ibunya, matanya mencari-cari Bleki. Saat melihat kambingnya digiring menuju tempat penyembelihan, air mata Bima tak terbendung. Ia memeluk ibunya erat. “Bima sedih, Bu.”
Sang Ibu mengusap kepala Bima. “Nak, kurban itu mengikhlaskan. Semoga Bleki membawa pahala untuk kita.”
Prosesi penyembelihan berlangsung. Bima menyaksikan dengan hati campur aduk. Namun, di tengah kesedihannya, matanya menangkap sesuatu. Di pojok masjid, beberapa anak terlihat mengamati dengan tatapan kosong, seolah tak ada harapan akan daging kurban. Mereka adalah anak-anak dari panti asuhan di ujung desa, yang setiap tahun jarang sekali mendapatkan bagian.
Seusai pembagian daging kurban, Bima melihat ibunya menyisihkan sebagian besar daging yang mereka dapat. “Untuk apa, Bu?” tanyanya.
“Ini untuk anak-anak panti asuhan, Nak,” jawab Ibu. “Mereka juga berhak merasakan kebahagiaan Idul Adha.”
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Bima. Ia menghampiri ibunya dengan mata berbinar. “Bu, bagaimana kalau daging kurban Bleki semuanya kita berikan ke panti asuhan? Kita kan masih punya nasi dan tempe di rumah.”
Ibu Bima terdiam sejenak, menatap mata polos anaknya. Ada ketulusan yang luar biasa di sana. Ia tahu, pengorbanan Bleki sudah berarti banyak bagi Bima, tapi kini, Bima ingin pengorbanan itu menjadi lebih berarti lagi.
“Kamu yakin, Nak?” tanya Ibu, memastikan.
Bima mengangguk mantap. “Yakin, Bu. Bleki pasti senang kalau dagingnya bisa membuat banyak teman-teman tersenyum.”
Dengan hati lapang, Ibu Bima mengiyakan. Mereka pun mengemas seluruh daging kurban Bleki. Bersama beberapa tetangga yang terinspirasi oleh ketulusan Bima, mereka berjalan menuju panti asuhan.
Saat tiba di panti, senyum merekah di wajah anak-anak. Mereka tak menyangka akan mendapatkan daging kurban sebanyak itu. Mata Bima berkaca-kaca melihat kebahagiaan yang begitu murni. Ia tidak lagi merasakan kesedihan kehilangan Bleki, melainkan digantikan oleh kehangatan dan kebahagiaan melihat senyum di wajah teman-teman barunya.
Pulang dari panti asuhan, Bima dan ibunya berjalan bergandengan. Langkah mereka ringan, seolah beban di hati telah terangkat. Bima menyadari, kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi tentang ketulusan hati, tentang berbagi kebahagiaan, dan tentang peduli pada sesama. Bleki memang telah pergi, tapi ia telah meninggalkan pelajaran paling berharga bagi Bima: bahwa sebuah kurban yang dilandasi ketulusan dan kepedulian sosial, adalah kurban yang paling berarti.