
Ada sesuatu yang abadi dalam ingatanku tentang ibu—sesuatu yang tetap mengalir jernih meskipun waktu terus bergulir. Bagiku, keabadian itu terpancar dari senyumannya: sebuah mata air kasih yang tak pernah kering, yang selalu memancarkan kesabaran, ketulusan, dan kekuatan bahkan di saat-saat yang paling sederhana.
Senyuman ibu adalah bahasa universal yang tak butuh kata. Ia bisa menyembuhkan luka, memberi semangat, dan mengingatkan kita bahwa di dunia yang penuh perubahan, ada satu hal yang tetap konstan — cintanya yang tak bersyarat.
Lewat puisi ini, aku mencoba menangkap secercah keabadian itu: senyuman yang tak lekang oleh waktu, yang tetap hidup dalam memori seperti mata air yang terus mengalir, membersihkan keraguan, dan menghidupi setiap langkah perjalanan hidup. Semoga puisi ini bisa menjadi cermin bagi setiap orang yang membacanya—untuk mengingat senyuman ibu mereka sendiri, yang mungkin sederhana, namun kekuatannya mampu menyirami jiwa sepanjang masa.
MATA AIR DI SENYUM IBU
Di setiap senyummu ada mata air memancur jernih, ibu
ia mengaliriku setiap waktu dengan kecupan sayang
menembus koral-koral hatiku yang membatu
dan kikis-kikis terjal di lereng rindu
Aku acap kali berpikir melunaknya egoku
terbersihkan oleh kasihmu
Di setiap senyummu ada mata air memancur lembut, ibu
ia tak lelah mendinginkan setiap jiwaku saat tersulut angkara
dan berubah menjadi titik-titik embun yang menggeliatkan
kuncup bunga-bunga kolam agar segera bermekaran
Aku seringkali menganggap keindahan pagi
dan keheningan ujung malam gelap
terbentuk oleh kelembutan senyummu itu
Di setiap senyummu ada mata air memancur tak henti, ibu
ingin sekali aku berdiri dan mandi di bawahnya pancurnya
membersihkan tubuhku yang selalu penuh keluh
dan menyegarkan jiwa agar semakin sadar
Aku selalu ingin mata air itu mendewasakanku
dan mampu membuatku berganti memanjakanmu
memasak sayur mayur
menanak nasi putih
menggoreng pisang kepok
merebus air untuk wedangan
memanggang ubi kesukaanku
Agar kau tak lelah lagi.
Gunungkidul, 2021
@ndhee