
Desember 2004 meninggalkan luka terdalam di hati bumi Aceh. Laut yang biasanya membawa kehidupan, pada suatu pagi berubah menjadi jurang ketakutan. Gelombang yang datang tak hanya menyapu daratan, tetapi juga memutus ribuan kisah dalam sekejap—gempa mengguncang, air mengamuk, dan duka membekas dalam ingatan kolektif kita. Sebuah bencana yang mengajarkan betapa kecilnya manusia di hadapan alam, namun juga mengungkap betapa besar hati manusia ketika diuji. Di balik tragedi yang tak terperi, ada cerita-cerita yang tak terbawa ombak: tentang keberanian para penyelamat, solidaritas yang menguat dari seluruh penjuru, dan tekad untuk bertahan di antara puing kehancuran. Puisi ini adalah nyanyian untuk mereka yang hilang, untuk para pejuang di garis depan, dan untuk setiap tangan yang saling meraih dalam kegelapan—seperti pucuk hijau yang tumbuh perlahan setelah badai, membawa harapan baru dari reruntuhan.
Di tengah bencana banjir bandang yang menimpa saudara kita di Tamiang, pada hari ini Jumat 26 Desember 2025 saatnya untuk merenung kembali peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi 21 tahun silam tersebut, tak terkecuali penulis. Bukan untuk mengusik kembali luka lama, tetapi untuk menghormati, belajar, dan mengingatkan tentang semangat bangkit yang lahir dari air mata. Bahwa dari tragedi terdahsyat sekalipun, manusia bisa hancur, tapi tidak pernah benar-benar kalah. Mari kita kenang, renungkan, dan terus memetik pelajaran tentang ketangguhan, kesabaran, dan arti sesungguhnya dari “bangkit”. Mereka pernah terluka dan berhasil bangkit. Kini, di tengah luka baru yang masih segar menganga penulis percaya bahwa mereka akan kembali bangkit seperti sedia kala.

Peristiwa tsunami Aceh 2004 pernah penulis buat dalam antologi puisi “Kicau Racau Bumi” yang penulis terbitkan secara Indie pada pertengahan 2023. Kini setelah 21 tahun berlalu tak ada salahnya penulis membagikan puisi tersebut di postingan ini. Puisi tersebut penulis beri judul “Tentang Aceh Yang Meleleh“. Berikut puisi tersebut selengkapnya.
-=-=-=-=-
TENTANG ACEH YANG MELELEH
Oleh : Andi Hidayat
Sabtu Malam, 25 Desember 2004
Bintang semakin menampak di sudut malam
gelap melepaskan diri dari dekapan kelam
langit-langit gelappun tak lagi mencekam
manusia hanyut terlelap di pelukan alam
Sejuk malam ini membelai pulas penduduk kota
mereka terbuai impian menggapai masa jaya
tersenyum bahagia dalam tidur lelapnya
tak nampak sedih walau sedikit saja
Tepian malam sebentar lagi menemui sudut pagi
ribuan orang mengambil wudhu penanda suci diri
tengadah tangan mulai terbuka menyatu dengan doa
berlomba dengan ribuan dengkur yang setia berteman liur
Fajar perlahan beranjak menampakkan diri
ia mulai menjemput pagi pembuka hari
bersemangat mengalahkan waktu kini
yang membuat manusia banyak merugi
Dan seluruh alam tampak jelas bersukaria dalam
melepas dini hari yang lelah menemani malam
menyambut kemeriahan datangnya pagi hari
bersama sinar-sinar lembut sang mentari
Minggu, 26 Desember 2004
Surya belum lama bangun menyapa
masih terlihat redup-redup di sinarnya
beradu dengan binar-binar muka penduduk
menjemput hari pergi meninggalkan tempat duduk
memandang kelapa melambai di tepian pantai
daratan pesisir landai jarang diterpa badai
Bayi-bayi masih terlelap dalam gendong selendang
anak-anak kecil duduk dan asyik bermain dengan riang
remaja-remaja mulai bercanda dan tertawa-tawa
kaum dewasa pergi berkarya untuk nafkah keluarga
kakek-kakek duduk di teras membaca koran lokal
di samping nenek yang menggulung benang pintal
Pukul delapan kurang semenit
adalah awal tragedi kemarahan alam nan pahit
tiba-tiba bumi mulai bergetar hebat
bukit-bukit, gunung-gunung menggeliat
dari titik 3,30 lintang utara mulailah petaka mengguyur
di persilangannya dengan 95,80 bujur timur
bersembunyi di kedalaman 25 kilometer
muncul bersama kepedihan 9,1 skala Richter
Gedung-gedung berguncang, rumah-rumah bergoyang
penduduk takut bukan kepalang, berlari keluar ke tempat lapang
mereka tergidik ngeri, melihat bangunan oleng ke kanan kiri
melihat pohon-pohon layaknya penari, yang bergerak tanpa henti
mereka hanya terdiam dan terpana, tanpa mampu bersuara
hingga ketika panik mulai datang, mereka berteriak keras tanpa pelantang
terus berhamburan, kencang berlarian
terjerat kebingungan, dibekap ketakutan
tanpa sadar mereka berpikir, mungkinkah ini sebuah akhir
dari sebuah kehidupan fana, dan kehancuran alam dunia
Nama Tuhan yang bersembunyi di dada
mulai muncul bersama teriak takut mereka
kebaikan-kebaikan yang pernah terlakukan
memberikan mereka sebersit ketenangan
dosa-dosa yang tak diakui keluar bersama doa-doa suci
noda-noda yang tak pernah dirasakan
mulai berhamburan dari bibir penyesalan
Delapan hingga sepuluh menit hanyalah sekejab
tak seberapa di banding lama yang terasa mendekap
dan rasa takut yang tanpa henti memerangkap
namun detik telah memakan waktu yang terus berlalu
mengenyahkan cerita suka menjelma bait-bait pilu
tentang getaran-getaran gempa pembuat sendu
Getaran-getaran reda orang-orang lega
mereka menyeka peluh yang membekas keluh
menyemut di persimpangan-persimpangan
berbicara versi mereka di perempatan-perempatan
bercerita pengalaman mencekam di pertigaan-pertigaan
Orang-orang pesisir menuju pinggir, pantai kini melandai
air laut menghilang terlihat jauh dari pandang
ikan-ikan menggelepar terjebak di lubang besar
matahari menyengat ganggang-ganggang berkilat
terumbu karang tergoyang sisa gempa yang mengguncang
Orang-orang pesisir mengambil keranjang
mengambil ikan-ikan terjebak dalam kubang
di atas batu dan sela-sela terumbu karang
tanpa menyadari air laut datang kembali
bersama gelombang berpuncak tinggi
Ketika sadar sebagian mereka malah linglung
melihat gelombang laut bergerak menggulung
ombak-ombak terpecah di bibir pesisir dan mengurung
seketika pucat pasi ketika air bah mengepung
mereka bergerak tak tentu terpasung bingung
mereka tak lagi mampu bersenandung
mereka tertikung dan tersandung
mereka terbawa arus penghancur teluk dan tanjung
mereka berhamburan mencari tempat berlindung
mereka berlari naik ke atas gedung-gedung
mereka bersembunyi hingga ke lereng-lereng gunung
mereka menyelamatkan diri dari bencana yang datang memancung
mereka tenggelam dalam air bah menggunung
mereka tak bergerak lagi dan terapung
mereka kesakitan memegang kaki, tangan dan punggung
mereka ketakutan terror alam yang mengungkung
mereka sadar telah lancung
mereka minta ampun secara langsung
Senin, 27 Desember 2004
Wadah negara-negara dunia, Persatuan Bangsa Bangsa
berkata ini bencana kemanusiaan terbesar yang pernah ada
ini saatnya saling membahu ini saatnya saling membantu
kesadaran dunia bermunculan bantuan-bantuan berdatangan
pesawat-pesawat militer asing mendarat kapal-kapal induk merapat
pencarian korban disegerakan evakuasi dimulai
kerugian ditaksirkan evaluasi ditindaklanjuti
Melihat tubuh-tubuh kaku di antara tumpukan sampah dan kayu
jasad-jasad menggelembung di antara runtuhan menggunung
mayat-mayat bergelimpang terseret air dan mengambang
bibir-bibir sukarelawan terdiam dan bungkam
mengevakuasi korban berteman kesedihan yang dalam
tak ada waktu menguburkan dengan layak
tak ada pembacaan sambutan penuh serak
tak ada uraian riwayat dalam untaian sajak
tak ada sedikitpun tawa terbahak tergelak
hanya doa-doa terlafal serentak
hanya air mata yang terus memberontak
hanya isak tangis yang terus berteriak
hanya ucapan ampun yang tak henti mendesak
ketika mereka dimuliakan dalam satu petak
Berjam-jam bekerja dalam diam
berhari-hari tak henti mencari
namun hanya sebagian ditemukan
beberapa terbayang dalam pedih kenangan
Rumah-rumah megah sejajar tanah
gedung-gedung tak lagi setegar gunung
jalan-jalan panjang banyak yang hilang
jembatan-jembatan runtuh berjatuhan
sawah-sawah subur berganti gundukan lumpur
tambak-tambak lenyap dan rusak
kapal-kapal laut merasuk jauh ke darat
mobil-mobil hancur dan rusak berat
sepeda-sepeda kena air laut jadi berkarat
Semua terlarut dalam kesedihan
kata-kata tak mampu terucapkan
para korban yang selamat
para sukarelawan yang melihat
para pemimpin yang berakal sehat
namun kesadaran harus dikobarkan
tentang semangat hidup yang tak boleh redup
tentang masa depan yang harus diwujudkan
tentang cinta dan keluarga yang harus terjaga
Selasa, 4 Januari 2005
Serambi Mekkah berduka
dua ratus tigapuluh ribu meninggal
lima ratus ribu kehilangan tempat tinggal
tiga hari nusantara berkabung
saatnya bercermin dan merenung
Saat ini
Setiap hari hingga hari ini, tak perlu tanggal bagi kami
bertahun-tahun peristiwa pilu itu telah berlalu
kami masyarakat Aceh akan selalu menoleh
pada suatu waktu kami pernah meleleh
sekedar mengingat mereka yang kami sayang
dan berkirim doa tiap malam menjelang
penyemangat kami untuk terus maju
bukan kesedihan yang terus memaku
Yogyakarta, Desember 2022