Peralihan era Industri 4.0, yang ditandai dengan digitalisasi dan konektivitas internet, menuju era Industri 5.0 yang menekankan kolaborasi antara manusia dan mesin cerdas, membawa berbagai dampak yang tidak bisa dihindari. Perubahan ini tidak hanya menghasilkan manfaat positif, tetapi juga menimbulkan sejumlah dampak negatif, khususnya dalam aspek sosial dan budaya.
Salah satu dampak negatif yang cukup mencolok adalah semakin mudahnya akses terhadap internet, yang berdampak langsung pada kehidupan sosial generasi masa kini. Gaya hidup, perilaku, serta cara berkomunikasi pun ikut berubah. Nilai-nilai yang sebelumnya dianggap tabu kini sudah mulai dianggap wajar. Istilah atau kata-kata kasar yang dulu hanya diucapkan secara sembunyi-sembunyi oleh anak-anak agar tidak terdengar oleh orang tua, kini diucapkan secara terbuka tanpa rasa sungkan.
Penulis sering mendengar kata-kata “Njir” dan “Nyet” diucapkan bukan hanya oleh orang dewasa, tetapi juga oleh remaja, bahkan anak-anak. Penulis penasaran apa arti dari kata-kata itu dan dari mana mereka bisa tau kata-kata seperti itu. Dalam beberapa kesempatan penulis melakukan searching di internet, ternyata penulis bisa dengan mudahnya menemukan kata-kata tersebut pada tayangan video di Youtube, Instagram, Tik Tok dan masih banyak yang lainnya. Kata “Njir” dan “Nyet” berasal dari kata anjir/anjing dan monyet, sering diucapkan oleh youtuber, selebgram, tiktoker dan influencer. Remaja dan anak-anak yang saat ini setiap hari bisa dengan mudah mengakses platform media sosial tersebut otomatis secara tidak sadar akan menirukan ucapan-ucapan dari apa yang mereka dengar dan mereka tonton.
Kata-kata yang dahulu hanya digunakan oleh kalangan tertentu, kondisi tertentu dan di tempat tertentu kini telah menjadi bahasa umum yang digunakan oleh siapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan di lingkungan sekolah pun tidak tertutup kemungkinan anak-anak mengucapkannya karena telah terbiasa mendengarnya dari sesama teman ataupun dari media sosial. Ironisnya, mereka tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut tergolong tidak pantas karena telah dianggap sebagai bagian dari percakapan sehari-hari. Hal yang lebih memprihatinkan, penulis pernah mendengar seorang anak usia PAUD mengucapkan kata anjir di hadapan orang tuanya. Yang mengejutkan, respons orang tuanya hanyalah senyum, seolah hal itu bukan sesuatu yang perlu dikoreksi.
Dalam sebuah pengalaman, penulis pernah menegur seorang pelajar sekolah menengah atas yang mengucapkan kata anjir. Saat ditegur dan diberi tahu bahwa kata tersebut tidak pantas diucapkan, anak itu justru bertanya balik, “Apa yang salah? Kenapa ditegur?” “Kenapa tidak boleh?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas mencerminkan terjadinya pergeseran nilai, sekaligus lemahnya pengawasan terhadap penggunaan bahasa dalam kehidupan sosial kita.
Beberapa waktu lalu, penulis juga menemukan sebuah film Indonesia berjudul “Blok M (1990)” yang dibintangi antara lain oleh Desy Ratnasari, Paramitha Rusady, dan Nia Lavenia saat mereka masih remaja. Dalam salah satu adegan, ketika Desy Ratnasari berada di mal bersama teman-temannya, ia mengucapkan kata anjir. Penulis sempat bertanya-tanya dalam hati: apakah Desy Ratnasari adalah orang pertama yang mencetuskan kata itu? Lalu, siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas merebaknya penggunaan kata-kata seperti ini? Apakah Desy Ratnasari sebagai pemeran yang mengucapkan, sutradara yang mengarahkan, editor yang tidak menyunting, penulis skenario yang menyisipkan kata tersebut ke dalam dialog? Ataukah youtuber, influencer, selebgram dan tiktoker? Atau kepada penggunanya sendiri yang tidak bisa menyaring informasi?
Kesimpulannya, di era yang serba canggih ini, kita tidak boleh bersikap permisif terhadap segala hal yang datang melalui teknologi. Kita harus bijak, ambil yang positif, tinggalkan yang negatif. Sebagai orang tua, pendidik, atau orang dewasa pada umumnya, kita memiliki tanggung jawab moral untuk mendampingi dan membimbing anak-anak dalam mengakses informasi. Kita harus memberikan contoh yang baik agar tidak terjadi dekadensi moral di tengah kemajuan zaman. Salam Literasi !