Sore kemarin aku membeli lauk pauk untuk berbuka puasa, di area taman parkir sebelah selatan kompleks pendopo Sewokoprojo. Area taman parkir yang pada masa kecilku dulu sering disebut dengan “stanplat lawas”. Selesai membayar aku bergegas menuju tempat motor kuparkir dengan niat langsung pulang ke rumah. Baru saja mau menaiki motor kepalaku sudah menoleh ke arah jalur keluar dan langsung menatap ke bangunan besar di seberang jalan. Bangunan kokoh yang dibangun tahun 2004 lalu untuk menggantikan tampilan lamanya yang sebelumnya masih tampil dalam balutan tradisional.
Pasar Argosari namanya, dengan tulisan cukup besar terpampang di bagian atas pintu masuk. Bangunannya besar, megah dan kokoh dengan tampilan modern didominasi warna hijau dengan perpaduan biru di menara tempat lift yang terletak di kanan kiri pintu masuk. Pasar ini adalah pasar yang sangat tidak asing bagiku. Di sini ibu berdagang mencari tambahan rejeki untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tempat ini juga yang pada akhirnya yang membuatku memahami makna menghidupi keluarga ketika aku sudah mulai menapaki kehidupan berumahtangga. Sepulang dari mengajar, ayah ke pasar membantu ibu menutup los dan pulang bersama-sama. Pada sekitar pukul 3 dini hari ayah bangun kemudian berangkat ke “negoro”, istilah untuk kota Jogja yang sering kudengar dari kakek, untuk kulakan dagangan yang akan dijual ibu. Kegigihan beliau berdua inilah yang membuat kami lima bersaudara dapat disekolahkan hingga perguruan tinggi sampai lulus.
Melihat dari luar bangunan Pasar Argosari terlihat begitu gagah dan kekinian, namun faktanya aktifitas jual beli yang ada di dalamnya tetaplah suatu kegiatan pasar tradisional. Pedagang-pedagang di kios-kios, los-los hingga kaki lima menggelar dagangannya dengan harga yang tidak pas, sehingga tawar menawar akan terjadi antara penjual dengan pembeli. Banyak pedagang yang menawarkan dagangannya dengan harga yang sangat tinggi ada pula yang menawarkan secara wajar. Sementara pembeli ada yang lihai menawar sehingga bisa mendapatkan harga yang sesuai dengan harga pasaran atau bahkan murah. Namun tak jarang ada juga pembeli yang “keblondrong”, karena tak punya kemampuan menawar sehingga justru membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasaran bahkan dari harga toko. Tawar menawar secara langsung inilah yang menjadi ciri khas pasar tradisional, termasuk Pasar Argosari.
Pasar Argosari yang pernah menjadi jantung perekonomian masyarakat Gunungkidul kini mengalami perubahan 180⁰ yang mencengangkan. Pada masa kejayaannya Argosari adalah pasar yang menjadi pusat belanja kebutuhan primer maupun sekunder di Gunungkidul. Kini setelah dua dasawarsa dibangun menjadi pasar megah dan keren, kejayaan itu meluruh dan mulai tenggelam di tengah serbuan pasar digital. Pasar yang dulu begitu ramai dikunjungi masyarakat untuk berbelanja, kini lengang dan sepi pengunjung. Bahkan pada seminggu terakhir menjelang lebaran seperti sekarang ini tidak banyak pengunjung yang berbelanja.
Digitalisasi yang mulai marak diterapkan diberbagai bidang kehidupan pada saat pandemi Covid 19 turut memberikan andil yang besar pada sepinya pengunjung pasar Argosari. Pembatasan sosial untuk mencegah kerumunan yang berpotensi mempercepat penyebaran virus membuat masyarakat enggan keluar rumah untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Masyarakat pun mulai mengubah cara pemenuhan kebutuhan dari berbelanja secara langsung ke pasar menjadi berbelanja lewat media sosial dan aplikasi e-commerce. Cukup dengan memesan lewat WhatsApp pada temannya yang berjualan dan siap mengantar. Pilihan lain cukup dengan meng-klik aplikasi belanja yang jor-joran menawarkan produk dengan paket pengiriman murah memanfaatkan voucher ongkir dan bahkan gratis membuat masyarakat merasa nyaman dan senang. Mereka dapat berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa harus pergi ke pasar atau tempat belanja fisik lainnya, dan barang yang dibeli akan diantar dengan cepat.
Kini dalam dua tahun terakhir, Pasar Argosari dihadapkan pada suasana yang berbeda dengan masa sebelum pandemi. Sepi. Lengang. Digitalisasi di segala lini termasuk e-commerce tersebut telah membuat masyarakat enggan datang berbelanja ke sini lagi. Mungkin inilah bukti dari salah satu ramalan Jayabaya dan juga salah satu kalimat dalam petuah Kanjeng Sunan Kalijaga : Pasar Ilang Kumandange. Tak ada lagi hiruk pikuk pengunjung, tak ada lagi keramaian tawar menawar khas pasar tradisional, tawar menawar untuk mewujudkan akad jual beli. Sekarang berganti dengan membeli produk di mall sesuai harga bandrol. Kebanyakan malah tinggal menekan tombol beli pada aplikasi toko online di smartphone.
Beberapa video media lokal Gunungkidul yang diposting di akun sosial media mereka memperlihatkan bagaimana suasana di lantai bawah tempat kelompok penjual aksesoris dan pakaian tampak sepi dan lengang menjelang lebaran. Padahal dahulu area aksesoris dan pakaian adalah titik teramai Pasar Argosari setelah area bumbon dan bahan makanan. Menjelang lebaran dahulu area ini selalu ramai pengunjung dari pagi sampai sore bahkan hingga menjelang Isya masih saja ada yang datang ingin berbelanja. Tidak ada waktu bagi para pedagang untuk beristirahat saking banyaknya pengunjung yang berdatangan memilih dan menawar dagangan. Sekarang mereka cuma bisa duduk berharap segera ada pembeli.
Kunjungan mbak Bupati beberapa waktu lalu menjadi sarana empuk para pedagang menyampaikan keluh kesah mereka tentang kondisi pasar yang sepi pengunjung. Mbak Bupati memberikan beberapa masukan, salah satunya untuk bisa tetap eksis dan mendapatkan penghasilan dari berdagang maka sebaiknya tidak hanya berjualan secara offline seperti yang telah mereka lakukan sampai sekarang. Berjualan secara online lewat media sosial maupun aplikasi jual beli juga harus mulai dipertimbangkan untuk dilakukan. Hal tersebut merupakan langkah adaptif untuk menyelesaikan diri dengan perubahan zaman.
Fenomena pasar tradisional sepi pengunjung tidak hanya terjadi di pasar Argosari saja. Ada banyak pasar tradisional lain yang tersebar di berbagai kota di Indonesia mengalami hal yang sama. Bahkan pusat perbelanjaan dan pusat grosir di Jakarta yang dahulu ramai seperti Tanah Abang, Blok M, Glodok, Pasar Senen mengalami hal yang sama dalam dua tahun terakhir. Begitupun dengan pasar-pasar tradisional di kota metropolitan tersebut.
Ada banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk kembali membuat pasar tradisional tetap ramai kegiatan jual beli. Jikalau kondisi tetap sama maka kebanyakan juga memberikan masukan seperti yang disampaikan mbak Bupati. Kalaupun pedagang juga harus mulai beradaptasi dengan ikutan berjualan secara online, tentu pemerintah juga diharapkan membantu para pedagang dengan memberikan semacam pelatihan tentang cara berjualan secara online. Mayoritas pedagang di pasar tradisional tidak tahu cara untuk memulainya. Untuk itu peran pemerintah melalui lembaga yang kompeten sangat dibutuhkan untuk memberikan bimbingan mereka agar adaptif terhadap perubahan dan bisa membuat pasar tetap mengiang berkumandang.
Pasar Argosari mulai “ilang kumandange”, mulai sepi pengunjung, ditinggalkan pembeli dan mungkin mulai sekarat menuju mati, namun ia tetap memberikan banyak kenangan untukku. Perjuangan orangtua yang mampu menyekolahkanku, kakak-kakak dan adikku tentu menjadi alasanku. Dulu di tempat itu aku selalu membantu ibu berjualan, dan di tempat itu pulalah aku dengan istriku oleh Alloh SWT dipertemukan.(ahi)