Belum genap sebulan bangsa ini merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80. Euforia itu seolah sirna digantikan keresahan. Demonstrasi besar kembali mengguncang jalanan. Semua bermula dari viralnya aksi para anggota dewan yang berjoget riang di Senayan, ditambah isu kenaikan tunjangan yang fantastis: setara gaji harian Rp. 3 juta per orang. Sebuah angka yang terasa menusuk, bila dibandingkan dengan gaji guru honorer yang bahkan belum tentu menyentuh Rp. 3 juta per bulan.
Salahkah jika rakyat merasa cemburu? Anggota dewan adalah karyawan rakyat. Mereka digaji dari uang rakyat. Namun mengapa ketimpangan begitu lebar? Apakah jabatan wakil rakyat lantas memberi hak untuk hidup di atas rata-rata, sementara rakyat yang diwakili terseok di bawah garis kesejahteraan?
Awalnya, demo kaum buruh terfokus pada isu penghasilan yang tidak adil. Namun, ketika sejumlah anggota dewan menanggapi dengan satire di media sosial—status, cuitan, hingga komentar yang terkesan merendahkan—api kecil pun membesar. Rakyat merasa hatinya dilukai. Maka, demonstrasi pun meluas, bukan sekadar orasi, tapi berujung anarkis: penjarahan rumah-rumah wakil rakyat yang dianggap melecehkan aspirasi.
Sudah hampir seminggu ini gejolak berlangsung. Tidak hanya di depan Gedung DPR RI, tetapi juga merebak di hampir semua ibu kota provinsi. Senin, awal September, sekolah-sekolah terpaksa menutup pintunya demi keamanan. Siswa kembali dirumahkan, seperti deja vu masa pandemi Covid-19. Pertanyaan besar pun muncul: sampai kapan? Salah siapa? Dan siapa yang akan bertindak lebih dewasa menyikapi keadaan ini?
Kurang lebih 9 tuntutan rakyat sudah diajukan, melalui postingan seorang influencer dan diaspora Indonesia dengan ultimatum: satu minggu. Jika tidak terpenuhi, apa yang akan terjadi berikutnya? Apakah bangsa ini akan kembali terjebak pada lingkaran konflik antara rakyat dan para pemimpinnya?
Kemerdekaan seharusnya mengajarkan kedaulatan rakyat. Wakil rakyat mestinya mengemban amanah dengan rendah hati, bukan menambah luka melalui gestur dan kata-kata yang menyakitkan. Kini saatnya kita bertanya dengan jujur: siapa yang benar-benar merdeka—rakyat atau wakil rakyat? Dan, beranikah para pemegang kuasa menjawab keresahan ini dengan kedewasaan, bukan dengan arogansi?
Di sisi lain, kita sebagai masyarakat juga perlu menjaga diri. Mari tetap bersikap netral, mengendalikan emosi, dan menjaga lingkungan agar tidak muncul korban jiwa dalam berbagai aksi. Karena kemerdekaan bukan berarti kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Mari kita iringi langkah dengan doa, semoga negeri ini kembali aman, damai, dan mampu bangkit dari luka sosial menuju persatuan yang lebih kokoh.