Sabtu, 10-05-2025
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi

Rara Lembayung. #1

Diterbitkan : Kamis, 24 April 2025

Oleh : Rita Indriana Rahmawati

-=-=-=-=-

Prolog

Matahari  yang berwarna keemasan dikelilingi semburat jingga. Langit disekitarnya bergradasi menampakkan perpaduan spektrum merah biru keunguan. Sulit dilukiskan dengan kata. Suasana hening nan agung menambah sempurna suasana.

Niken Purwosari tegak memandang pergantian siang malam dengan hati buncah. Pada senja seperti inilah dirinya terlahir. Warna yang hingga kini digunakan orang tertentu dalam hidupnya untuk menyapa.

Wanita itu teringat ketika tangannya dituntun, bertahun-tahun silam. Berjalan mendaki bukit gersang. Menyelinap dari biyung. Kemudian setelah mereka sampai puncak, rama mengangkat tubuh mungilnya ke pundak, agar bisa menikmati dengan leluasa. Rama jarang berseberangan kata dengan biyung, tidak pula dalam tindakan. Dalam waktu biasa, mereka akan menutup rapat-rapat pintu rumah. Senja adalah waktu sang bethara kala keluar dari dunianya. Menggoda anak turun Adam untuk lalai dari Tuhan. Tetapi demi menunjukkan asal-usul panggilannya, rama melewati batas kebiasaan.

Niken Purwosari mengingat momen itu dengan sempurna. Dia bahkan masih bisa merasakan gelung rambut ramanya menekan perut. Masih ingat warna dan bau iket[1] di kepala rama. Dia atas pundak kokoh yang menopangnya, mata jeli  itu tak berkedip. Mulutnya menyunggingkan senyum lebar. Cantik seperti dirinya, kata rama kala itu. Ya. Cantik sekali. Bocah berwajah menawan itu tak kehilangan keceriaannya hingga beberapa hari kemudian.

Hari ini, Yang Agung seolah memberi hadiah. Langit senja menampakkan lagi pesonanya. Wanita dengan segala kedewasaannya itu, memandang dengan air menggambangi pelupuk mata. Dia sendirian. Rambut legamnya diikat sekadarnya di belakang kepala. Anak-anak rambut yang lepas dari ikatan seolah menari tertiup semilirnya angin. Pakaiannya ringkas. Baju dengan lilitan kain sebagai sabuk dipadu celana semata kaki. Andai rama ada disampingnya kini, dirinya yakin beliau tak akan suka. Seorang wanita adalah simbol kelembutan. Seharusnya pakai kemben dan kebaya dengan rambut tersanggul di kepala.

Di tangan kanan wanita itu tergenggam erat sebuah keris. Masih tanpa sarung, sama persis seperti terakhir kali dilihatnya. Hanya pembungkus, yang sekarang tergenggam di tangan kiri, berbeda. Bukan lagi kain lusuh berwarna hijau tua.

Seseorang, yang kepadanyalah dia seharusnya mengabdi, telah mengeluarkan titah. Titah yang harus dilaksanakan oleh orang lain, yang kepadanyalah dia mencurahkan segala kasih sayang. Niken Purwosari tidak bisa menduga, hati macam apa yang bisa menitahkan hal semacam itu. Sejak awal, dia memang tak pernah bisa meraba. Orang yang membawa keris itu kembali padanya, bahkan tak memahami arti perintah yang dibawa. Tapi wanita itu mengerti. Sangat mengerti. Dia akan menjelaskan, malam ini. Membiarkan sang pembawa pesan mengambil pilihan. Apapun itu.

Niken Purwosari mendongkak, menghela nafas panjang. Untuk terakhir kali memandang eloknya warna senja. Akhirnya badan yang ramping itu berbalik, memunggungi matahari yang tengah masuk ke peraduan. Dia berjalan dengan mantap tanpa sedikitpun keraguan. Sambil telapak kaki beralas jalinan alang-alang menapak,  keris pusaka dia balut kembali dengan kain kuning keemasan berenda. Dia selipkan antara baju dan kain sabuk yang mengelilingi pinggang, kemudian.

Kuda yang terikat di batang pohon waru meringkik pelan ketika melihat tuannya mendekat. Niken Purwosari melepas tali, menaiki dan menghela kekang. Menyusuri jalan yang mulai meremang.

~bersambung

Ket:
Rara dibaca dengan pelafalan Roro: Panggilan untuk wanita berdarah biru atau wanita yang dihormati
Rama dibaca dengan pelafalan romo: panggilan untuk ayah.
[1] iket : penutup kepala untuk laki-laki berupa kain persegi bermotif batik yang diikat dengan aturan tertentu

Penulis : blogmansageka

Tulisan Lainnya

Oleh : blogmansageka

Mudik

Oleh : blogmansageka

Rara Lembayung. #3

Oleh : blogmansageka

Pasar Ilang Kumandange

KONTAK KAMI
(0274) 391377

Jl. Sunan Ampel 68 Trimulyo II Kepek Wonosari Gunungkidul Yogyakarta 55813

man1gunungkidul@gmail.com