Bulan Agustus selalu membawa semangat yang berbeda di setiap sudut negeri ini. Bendera merah putih berkibar, lagu kebangsaan bergema, dan kisah perjuangan para pahlawan kembali kita dengar. Namun, di balik gegap gempita itu, ada ruang refleksi yang perlu kita isi: sudahkah kita merdeka, bukan hanya sebagai bangsa, tetapi juga sebagai individu?.
Pendidikan di madrasah mengajarkan kita arti cinta tanah air. Namun, ia juga semestinya membimbing kita memahami kemerdekaan yang lebih dalam, yaitu kemerdekaan hati dan pikiran. Dalam semangat pendidikan inklusi, kemerdekaan berarti membuka pintu seluas-luasnya bagi semua anak, tanpa diskriminasi terhadap latar belakang, kondisi fisik, maupun perbedaan cara berpikir. Karena sejatinya, belajar adalah hak setiap manusia, dan setiap perbedaan adalah bagian dari kekayaan bangsa.
Kali ini mari kita refleksikan kembali makna dari sebuah kemerdekaan, dengan memandang hidup dan kehidupan dari sudut yang berbeda. Kemerdekaan biasanya kita rayakan dengan bendera, upacara, dan cerita heroik para pejuang. Namun, ada kemerdekaan lain yang jarang dibicarakan, kemerdekaan yang tak terlihat di mata, tapi terasa di jiwa. Kemerdekaan ini bukan hanya tentang bebas dari penjajahan bangsa lain, melainkan bebas dari jeruji tak kasat mata yang mengurung pikiran, perasaan, dan pilihan hidup kita.
Sebagai individu, saya akhirnya mengenali bahwa diri ini berbeda dari kebanyakan orang. Pola pikir saya tidak selalu mengikuti arus umum. Kadang ide-ide yang muncul melompat-lompat, kadang saya juga terlalu fokus pada satu hal hingga lupa waktu, lupa akan rasa empati terhadap sesama, lupa akan beban yang sedang ditanggung rekan kerja. Anggaplah bahwa saya adalah bagian dari mereka yang disebut neurodivergen. Mereka yang otaknya bekerja dengan cara berbeda dari yang dianggap “standar” atau “normal”.
Kata normal itu sendiri bagi saya sering kali menjadi penjara. Seolah semua harus berjalan di jalur yang sama, dengan irama yang seragam. Jika tidak, kami dicap “aneh”, “tidak normal”, bahkan ada yang berani berkata “gila”. Padahal, seperti bunga di taman, keindahan justru muncul karena ragam bentuk dan warnanya.
Psikologi mengajarkan bahwa salah satu bentuk kemerdekaan sejati adalah self-acceptance, yaitumenerima diri apa adanya, termasuk kelebihan dan kekurangan. Bagi saya, merdeka berarti berani memilih jalan yang sesuai passion, meski jalan itu jarang dilewati orang lain. Merdeka berarti tidak memaksa diri masuk ke kerangka yang tidak sesuai, hanya demi dianggap “wajar” oleh orang lain.
Kita juga sering lupa, bahwa perbedaan cara berpikir ini bukanlah cacat, melainkan variasi alami otak manusia. Sejarah bahkan membuktikan, banyak tokoh besar yang “berbeda” justru melahirkan perubahan luar biasa.
Di hari kemerdekaan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk menambahkan satu makna baru dari sebuah kemerdekaan, yaitu kemerdekaan untuk menjadi diri sendiri. Jangan buru-buru menghakimi jika seseorang menjalani hidup dengan ritme yang berbeda. Sebab, kemerdekaan bukan hanya hak bangsa, tetapi juga hak setiap jiwa untuk hidup sesuai versinya masing-masing.
Karena ketika kita belajar melihat dunia dari sudut pandang yang beragam, kita sedang ikut berjuang menjaga kemerdekaan, dan yang paling utama adalah kemerdekaan hati, pikiran, dan kemanusiaan.
Sebagai bagian dari dunia pendidikan, kita memiliki tanggung jawab untuk menanamkan kesadaran bahwa setiap anak adalah unik. Kemerdekaan bukanlah menyeragamkan semua orang, melainkan memberi ruang bagi setiap individu untuk tumbuh sesuai potensi dan karakter masing-masing.
Inilah inti dari pendidikan inklusi yang sedang in saat ini, dengan menciptakan lingkungan belajar yang ramah, menghargai keberagaman, dan memberi kesempatan setara bagi semua siswa, termasuk mereka yang cara berpikirnya berbeda. Di madrasah, kemerdekaan itu berarti memberikan kesempatan belajar yang menghargai keberagaman cara berpikir dan cara berkembang. Karena bangsa yang merdeka sejatinya dibangun oleh jiwa-jiwa yang merdeka.
Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia.
Salam sehat, dengan merdeka jiwa dan raga.
Tuti Herawati
17 Agustus 2025