Sabtu, 19-07-2025
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi
  • MAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - PrestasiMAN 1 GUNUNGKIDUL MANTAP - Mandiri - Akhlak Mulia - Nasionalis - Terampil - Adaptif - Prestasi

Rara Lembayung. #5

Diterbitkan : Senin, 14 Juli 2025

Cerita Bersambung Oleh : Rita Indriana Rahmawati

-=-=-=-=-

Dalam tiga hari ini Lembayung tak tahu apa yang harus dilakukan. Wira Saksana menolak bertemu dengannya. Dia merasa Wira Saksana menjauh sejak terakhir kali mereka tertangkap basah. Ramanya telah pergi selama satu minggu tanpa mengatakan apapun sebelumnya. Empat hari setelah kepergian ramanya, saat Lembayung pergi ke sungai bersama gadis-gadis lain, mereka semua menggodanya. Lembayung akan menjadi menantu Adipati Mataram, tak seharusnya mencuci di sungai, begitu kata mereka. Lembayung menanggapinya dengan wajah merah dan hati yang mengkal. Dia mengindit bakul berisi perasan baju bersih sambil memikirkan banyak hal, siapapun yang pertama kali menghembuskan kabar itu akan diberinya perhitungan. Hanya perlu waktu sekejap, hingga seluruh penduduk desa tahu. Bisa dipastikan gadis itu tak akan bisa keluar rumah setelahnya tanpa mendapat pertanyaan yang sama sekali tak ingin didengar.

               Yang dilakukan gadis itu setelahnya hanyalah menanti dengan cemas kedatangan ramanya. Bagaimana bisa rama mendahulukan urusan di Pajang daripada dirinya. Waktu sebulan yang dijanjikan Ki Ageng Pemanahan telah berkurang delapan hari tanpa ada perkembangan apapun. Lembayung sangat ingin bertemu dengan Wira Saksana tetapi dia takut keluar rumah. Dia berharap Wanakusuma tanggap tanpa perlu dijelaskan, mengajak Wira Saksana ke rumah mereka. Nyatanya sampai sekarang tak ada seorang tamupun yang datang. Wanakusuma selalu pulang seorang diri dari padepokan. Gadis itu menyerah setelah Wanakusuma menyindirnya tentang wanita harus menjaga kehormatan. Tingkah Lembayung terlalu kentara seperti ayam betina yang mengekek minta dibuahi. Maka Lembayung tak lagi peduli akan kepulangan kakaknya.

               Begitu terdengar ringkik kuda di halaman, Lembayung berdiri dengan sumringah. Dia menyongsong Ki Kertanadi dan menguntit di belakang rama yang menuntun tunggangan ke kandang di belakang rumah.

“Urusan apa di Pajang yang membuat Rama tega menelantarkan anak sendiri selama satu minggu?” todong Lembayung begitu Ki Kertanadi menambatkan kekang kuda. Ki Kertanadi tidak segera menjawab. Lelaki yang dipanggil rama itu justru mengambil rumput dan meletakkannya di tempat pakan. Lalu mengelus-elus kepala kudanya.

“Perlakukanlah binatang peliharaanmu dengan baik, Lembayung. Kasihanilah yang ada di bumi, niscaya kau akan di kasihi oleh yang di langit.” Saat Ki Kertanadi bersuara, justru membicarakan tentang binatang.

Dahi Lembayung mengernyit, jelas tak mengerti apa hubungan antara pertanyaannya dengan kuda.

“Apa hubungan pertanyaan Lembayung dengan mengasihi kuda? Apa sekarang kuda ini juga lebih penting daripada Lembayung?” gadis keras kepala itu tak bisa menahan lidahnya untuk bertanya.

“Jika dengan binatang saja kau diminta untuk mengasihi, apalagi kepada manusia,” jawab Ki Kertanadi sambil memandang Lembayung tepat pada bola matanya.

“Lalu?” Lembayung masih tak mengerti, menantang tatapan ramanya sambil bertanya dengan mulut mengerucut.

“Apa kau lupa kalau rama itu manusia? Rama juga masih ada di bumi. Jadi..?” Ki Kertanadi ingin Lembayung menyimpulkan sendiri.

“Rama ingin Lembayung kasihani?” Lembayung masih tak mengerti. Tapi sedetik kemudian gadis itu terbelalak, lalu balik kanan dan berjalan meninggalkan Ki Kertanadi dengan cepat. Tanpa menoleh sedikitpun.

Saat Ki Kertanadi masuk, di meja sudah ada teh yang mengepul dari cangkir tanah. Dilihatnya Lembayung datang dari arah dapur dengan membawa talas rebus. Gadis kepala batunya itu tersenyum ganjil setelah beberapa saat lalu menyambutnya dengan kekesalan.

“Rama, beristirahatlah dulu. Silakan dinikmati. Kalau Rama tidak sabar ingin bertemu dengan Biyung, tunggulah beberapa saat lagi. Pujaan hati Rama akan pulang dari ladang sebentar lagi.” Lembayung menjelaskan dengan panjang lebar. Senyuman dan nada suaranya sungguh terlihat dibuat-buat untuk menutupi kekesalan hatinya. Gadis itu kemudian masuk ke biliknya dan sengaja sedikit membanting pintu.

Ki Kertanadi menarik nafas panjang. Entah apa yang akan dilakukannya kepada gadis itu. Saat ini lelaki itu hanya ingin istirahat sebentar setelah menempuh perjalanan. Setelahnya dia harus menyampaikan informasi yang didapatnya dari Pajang kepada para murid padepokan. Urusan Lembayung paling tidak harus menunggu hingga nanti malam.

Lembayung masih belum keluar dari bilik ketika Ki Kertanadi bersiap pergi ke padepokan. Nyi Talang Warih, yang sudah kembali dari ladang, menjelaskan pada suaminya bahwa Lembayung sangat tertekan belakangan ini.

“Anak itu menanti kepulangan Kakang dengan sungguh-sunguh. Apa yang Kakang katakan kepadanya hingga mengurung diri di bilik seperti itu?” Nyi Talang Warih bertanya kepada suaminya.

“Melihatnya yang biasa petakilan hanya mondar mandir saja di dalam rumah membuatku ikut sesak, Kakang,” dia melanjutkan sambil memandang suaminya.

“Nanti malam aku akan berbicara dengan Lembayung. Aku pergi dulu Nyi.” Ki Kertanadi meninggalkan istrinya yang masih memandang tak mengerti.

Ki Kertanadi sampai di padepokan ketika murid-muridnya beristirahat di joglo utama. Ki Kertanadi meminta mereka berkumpul mendekat dan duduk di tengah-tengahnya. Ki Kertanadi memulai pokok pembicaraan yang serius dengan menyebut-nyebut raja mereka.

“Selama satu minggu aku di kotaraja, sempat sowan dan berbincang dengan Kanjeng Sultan. Sultan Hadiwijaya di Pajang tengah merisaukan wilayah-wilayah yang mulai tidak taat pada kerajaan. Untuk menghadapi itu, Kanjeng Sultan berniat menambah prajurit kerajaan,” Ki Kertanadi menjeda sebentar kalimatnya.

“Bagi kalian yang ingin mengabdikan diri kepada raja, inilah saatnya. Kalian masih punya waktu dua minggu untuk mempersiapkan diri hingga seleksi pertama di mulai di Pajang.”

 Dengungan terdengar setelah Ki Kertanadi menyelesaikan penjelasannya. Banyak yang  antusias mendengar kabar itu. Beberapa jelas-jelas menunjukkan wajah tak tertarik. Sisanya tampak ragu. Diantara mereka semua, hanya Wira Saksana yang terlihat berpandangan kosong. Seolah tak tahu harus menanggapi dengan ekspresi apa. Raganya memang ada di antara teman-temannya, tetapi hati dan jiwanya entah melalang buana kemana.

Saat mereka semua bubar menuju rumah masing-masing, Ki Kertanadi menahan Wira Saksana. Bagai orang linglung, Wira Saksana mengiyakan apa yang dikatakan gurunya tanpa benar-benar mendengar.

Apa yang tadi dikatakan Ki Ageng? Bapak? Ke rumah?

Bapak diminta ke rumah Ki Ageng? Ki Ageng mau bertamu ke rumah bapak?

Ketika langkahnya sudah agak jauh Wira Saksana bingung, ingin balik bertanya tetapi dia malu. Maka dia hanya melanjutkan langkah kakinya dengan gontai.

Penulis : blogmansageka

Tulisan Lainnya

Oleh : blogmansageka

Lima Negara Terkaya Di Dunia

Oleh : blogmansageka

Curahan Hati Untuk Dia

Oleh : blogmansageka

Luruh Asaku #1

Oleh : blogmansageka

Yuk Belajar Tentang Pancasila

KONTAK KAMI
(0274) 391377

Jl. Sunan Ampel 68 Trimulyo II Kepek Wonosari Gunungkidul Yogyakarta 55813

man1gunungkidul@gmail.com